(13/06/14)
Sehabis berfoto didepan sanggar Saka Bahari Lanal Babel dan didepan Gapura
Lanal Babel bersama Kapten Widhie dan petugas piket jaga, kami berpamitan untuk
melanjutkan perjalanan menuju Muntok. Tidak jauh dari Lanal Babel kami mampir
ke pantai wisata Batu Dinding, sederhana tidak ada penunjuk arah ke lokasi
wisata, tidak ada loket untuk membayar, saat kami sampai disana, sepi tidak ada
pengunjung, mungkin karena ini hari jumat. Kami disambut oleh Pak Muhammad
Rifai, umurnya sekitar 60 tahun, beliau adalah pemilik tanah dan villa Batu Dinding,
awalnya saya berpikir beliau adalah tukang kebun, karena saat kami datang pak
Rifai sedang membersihkan halaman dengan berpakaian seperti tukang sapu, sangat
sederhana.
Tanah
seluas lebih dari 1 hektar, pohon - pohon kelapa berkombinasi batu – batuan
kecil dan sedang, sebuah villa berlantai dua dengan bangunan semi permanen berdiri
tepat ditengah – tengah, dengan teras rumah yang menghadap ke teluk Kelabat
menambah keindahan pemandangan, dipinggir pantai berdiri sebuah batu besar
dengan ketinggian kurang lebih 15 meter, inilah batu dinding yang diabadikan
menjadi nama tempat.
Disayangkan
pantai disekitar Batu Dinding tidak dapat digunakan untuk berenang, warna
airnya butek dan pantainya penuh lumpur tercemar sisa pengolahan timah dari
kapal isap, kondisi kerusakan teluk Kelabat akibat beroperasi kapal – kapal
isap sangat memprihatinkan, ikan – ikan tidak mempunyai rumah karena terumbu
karang yang menjadi rumahnya rusak dan habis ikut diisap kapal isap penambang
timah, imbasnya para nelayan harus melaut lebih jauh untuk mendapat ikan.
|
Batu Dinding |
|
Batu Dinding |
|
Batu Dinding |
|
Batu Dinding |
|
Batu Dinding |
|
Batu Dinding |
|
Batu Dinding |
Tidak
berlama - lama kami di Batu Dinding, setelah berfoto bersama dan berpamitan
dengan Pak Rifai kami melanjutkan perjalanan menuju pelabuhan Tanjung Gudang,
berada disebelah pelabuhan niaga kapal – kapal besar dan kapal isap bersandar, disitulah
pelabuhan rakyat yang sederhana, dari sini para penumpang yang ingin menuju ke
Tanjung Ru dan melanjutkan perjalanan menuju Bangka Barat menyeberang
menggunakan perahu, dengan membayar Rp 10.000 untuk orang dan Rp 50.000 untuk
motor.
Menyeberangi Teluk Kelabat menuju Tanjung Ru memakan waktu setengah
jam, buritan perahu langsung menabrak pantai berpasir, sebatang balok kayu dijadikan titian
untuk membantu penumpang turun dari buritan prahu, pelabuhan rakyat Tanjung Ru adalah pelabuhan tanpa
dermaga, masuk wilayah administrasi Desa Bakit, kecamatan Parit Tiga Jebus.
|
Pelabuhan rakyat Tanjung Gudang |
|
Batu Dinding |
|
Batu Dinding |
|
Batu Dinding |
Tanjung Ru kami melanjutkan perjalanan menuju Muntok, di Kampung Telak kami
shalat jumat dan makan siang di warung pecel ayam Lamongan yang pedagangnya
asli perantau dari jawa
Memasuki
Jebus hari sudah sore, untuk sampai ke Muntok masih 60 km lagi, kami sempat ditawarkan
Ari kawan kami yang di Muntok untuk menginap dirumah saudaranya di Jebus, dipastikan
kami akan malam tiba di Muntok bila melajutkan perjalanan. Seusai shalat
Ashar saya dan bang Hendry berunding dan sepakat melanjutkan perjalanan
sampai hari ketemu gelap.
Maghrib
kami tiba di Simpang Ibul, setelah makan malam dengan menu sop daging dan lagi
– lagi orang perantauan dari jawa yang jualan, tepatnya dari Surabaya. Kami bertanya dimana ada mushala
atau mesjid terdekat, menurut pemilik warung kalau yang menuju kearah Muntok
kira – kira masih 3 km lagi akan bertemu masjid, prakteknya kami baru bertemu
masjid 10 km berikutnya, disayangkan masjid yang kami maksud sedang dihancurkan
dan akan dibangun masjid yang baru dan lebih bagus.
Kami
lanjutkan perjalanan membelah kegelapan malam, kami menemukan masjid yang besar berada ditengah perkampungan, kami meminta izin kepada marbot masjid
untuk menumpang bermalam, oleh marbot masjid kami disuruh untuk izin kekepala
desa, karena males ribet birokrasi, kami memilih melanjutkan perjalanan.
Terdengar sayu - sayu adzan
Isya kumandang , saya dan Bang Hendry senang sekali mendengar suara
adzan, berarti tidak lama lagi kami akan bertemu masjid, kami tiba didesa
Mayang. Kami bertemu dengan masjid besar dipinggir jalan, bergegas kami
berganti pakaian untuk ikut shalat isya berjamaah, usai shalat berjamaah kami
meminta izin untuk bermalam untuk esok setelah shalat subuh melanjutkan
perjalanan ke Muntok.
(14/06/14)
Sesudah shalat Subuh kami berpamitan dan melanjutkan perjalanan dikegelapan
subuh. Jarak dari Mayang menuju Muntok tersisa 30 km, perjalanan banyak membelah
perkebunan sawit, pagi itu kami melewati pom bensin yang dipenuhi antrean panjang
truk – truk yang akan mengisi solar bersubsidi.
Langit
pagi masih saja gelap berselimut awan tebal, perlahan hujan rintik – rintik
turun, kami sempat berhenti sejenak untuk merapihkan muatan agar tidak sampai
kebasahan, saat jalan sedang menanjak, tiba –tiba hujan turun dengan derasnya,
kami mampir disebuah warung kelontong untuk berteduh dan sarapan membeli roti, setelah hujan
mereda, kami lanjutkan perjalanan menuju Muntok.
Kami
makan siang di warung nasi Surabaya didepan SMPN 1 Muntok, lama kami
disini berteduh dari derasnya hujan, bercerita si Ibu warung yang asli
Surabaya, warung nasinya tidak seramai saat masyarakat Bangka masih punya
tambang - tambang pribadi yang produktif, sekarang banyak tambang –
tambang liar yang ditinggalkan begitu saja karena sudah tidak produktif,
berimbas ke bisnis warung nasi si Ibu, hujan telah berhenti,
kami berpamitan dan melanjutkan perjalanan yang tersisa beberapa kilo lagi untuk
sampai ke kawasan pelabuhan Muntok.
Kami
mampir ke Pos TNI AL untuk bersilahturahmi dan istirahat sambil menunggu Ari.
Kami diajak Ari bermalam di cottage sederhananya di pesisir pantai, oleh Ari malam itu
kami bakar ikan kerapu dan disuguhi kerupuk khas Bangka serta otak – otak ikan,
ditemani klakson dan terang lampu kapal ferry yang akan menyeberang dari
Tanjung Kelian ke Palembang
dan sebaliknya memecah kesunyuian dan kegelapan malam.
|
Jalan raya Pangkal Pinang - Muntok |
|
Museum Timah Indonesia |
|
Tiba dikota Muntok |
|
Pos TNI AL Muntok |
|
Foto bareng anggota Pos TNI AL Muntok |
|
Jalan pintas menuju Tanjung Kelian |
|
Cottage kami di Tanjung Kelian |
|
Cottage kami di Tanjung Kelian |
|
Menara suar Tanjung Kelian |
(15/06/14)
Pagi kami sempatkan mampir ke Pelabuhan Tanjung Kelian, untuk melihat menara
suar peninggalan Belanda, bangkai – bangkai kapal perang di Pantai Tanjung
Kelian. Berlanjut berkeliling kota
tua Muntok, berjejer gedung – gedung tua peninggalan Belanda, sangat
disayangkan beberapa ada yang tidak terawat.
“Rumah
Mayor China” warga setempat menyebutnya rumah mayor, adalah rumah kediaman
Mayor Chung A Tiam, Mayor kedua yang diangkat oleh Pemerintah Belanda sebagai
kepala masyarakat cina. masyarakat cina di Muntok didatangkan oleh pemerintah
kolonial belanda melalui perusahaan tambang timah Banka Tin Winning Berdrijf
(BTW) sebagai pemegang monopoli penambangan timah, rumah bergaya arsitektur
Eropa dengan pilar – pilar besar, diatas pintu masuk terdapat tulisan cina
berwarna emas berdasar warna merah, khas tulisan Cina, diujung – ujung pilarnya
terdapat 2 relief Shisa, the guardian lions.
Megah
berdiri berdampingan didepan terminal lama, Masjid Jami Muntok dan Kelenteng Kuang Fuk Miay, simbol toleransi masyarakat Bumi Serumpun Sebalai, Masjid Jami Muntok bangunan masjid tertua di Pulau
Bangka ini didirikan tahun 1879M (19 Muharam 1300H) pada
masa pemerintahan H. Abang Muhammad Ali dengan Gelar Tumenggung Karta Negara II
dibantu tokoh - tokoh masyarakat Muntok yaitu H. Nuh dan H. Yakub termasuk orang-orang Cina Kaya yang sebagian telah
masuk Islam dan Mayor Chung A Thiam. Kelenteng Kuang Fuk Miay 83 tahun lebih dulu berdiri sebelum Masjid Jami dibangun,
dibangun oleh orang-orang Cina dari suku Kuantang dan Fu kien yan telah lama
menetap di Muntok sejak 1820.
|
Masjid Jami Muntok dan Kelenteng Kuang Fuk Miay |
|
salah satu rumah peninggalan Belanda disudut kota Muntok |
|
Menara Masjid Jami diliat dari pintu masuk Kelenteng Kuang Fuk Miay |
|
Rumah Mayor China |
Oleh
Ari kami diajak ke terminal bus Muntok yang berada dibelakang pelabuhan lama.
Kami dikenalkan dengan Bang Faisal pemilik resto Menumbing yang letaknya
didalam terminal, kami ditraktir Bang Faisal sarapan nasi goreng dan kopi O, di
resto Menumbing juga menjual oleh – oleh khas Pulau Bangka, saya dan bang
Hendry sempatkan berbelanja oleh –oleh. Pagi ini kami berencana loading bus
menuju Pangkal Pinang dilanjutkan kembali ke Jakarta menggunakan kapal Ferry dari
Pelabuhan Pangkal Balam. KM.
Sinar Bangka mengantarkan kami pulang, 30 jam perjalanan laut terlama
Pangkal Balam (Pulau Bangka) – Tanjung Priok (Jakarta) adalah rekor terlama perjalanan laut, dan kami menikmatinya.
|
Bersama Bang Faisal dan keluarga di depan Resto Menumbing |
|
Loading dari Muntok ke Pangkal Pinang |
|
Pelabuhan Pangkal Balam |
|
Menunggu sunset dari buritan Km. Sinar Bangka |
|
KM. Sinar Bangka |
|
KM. Sinar Bangka |
|
Tiba di Tanjung Priok tengah malam |
|
Kapal pandu di Tanjung Priok |