Minggu, 09 November 2014

MENTOK DI MUNTOK #SunsetBabel



(13/06/14) Sehabis berfoto didepan sanggar Saka Bahari Lanal Babel dan didepan Gapura Lanal Babel bersama Kapten Widhie dan petugas piket jaga, kami berpamitan untuk melanjutkan perjalanan menuju Muntok. Tidak jauh dari Lanal Babel kami mampir ke pantai wisata Batu Dinding, sederhana tidak ada penunjuk arah ke lokasi wisata, tidak ada loket untuk membayar, saat kami sampai disana, sepi tidak ada pengunjung, mungkin karena ini hari jumat. Kami disambut oleh Pak Muhammad Rifai, umurnya sekitar 60 tahun, beliau adalah pemilik tanah dan villa Batu Dinding, awalnya saya berpikir beliau adalah tukang kebun, karena saat kami datang pak Rifai sedang membersihkan halaman dengan berpakaian seperti tukang sapu, sangat sederhana.

Tanah seluas lebih dari 1 hektar, pohon - pohon kelapa berkombinasi batu – batuan kecil dan sedang, sebuah villa berlantai dua dengan bangunan semi permanen berdiri tepat ditengah – tengah, dengan teras rumah yang menghadap ke teluk Kelabat menambah keindahan pemandangan, dipinggir pantai berdiri sebuah batu besar dengan ketinggian kurang lebih 15 meter, inilah batu dinding yang diabadikan menjadi nama tempat.

Disayangkan pantai disekitar Batu Dinding tidak dapat digunakan untuk berenang, warna airnya butek dan pantainya penuh lumpur tercemar sisa pengolahan timah dari kapal isap, kondisi kerusakan teluk Kelabat akibat beroperasi kapal – kapal isap sangat memprihatinkan, ikan – ikan tidak mempunyai rumah karena terumbu karang yang menjadi rumahnya rusak dan habis ikut diisap kapal isap penambang timah, imbasnya para nelayan harus melaut lebih jauh untuk mendapat ikan.

Batu Dinding

Batu Dinding

Batu Dinding

Batu Dinding

Batu Dinding

Batu Dinding

Batu Dinding

Tidak berlama - lama kami di Batu Dinding, setelah berfoto bersama dan berpamitan dengan Pak Rifai kami melanjutkan perjalanan menuju pelabuhan Tanjung Gudang, berada disebelah pelabuhan niaga kapal – kapal besar dan kapal isap bersandar, disitulah pelabuhan rakyat yang sederhana, dari sini para penumpang yang ingin menuju ke Tanjung Ru dan melanjutkan perjalanan menuju Bangka Barat menyeberang menggunakan perahu, dengan membayar Rp 10.000 untuk orang dan Rp 50.000 untuk motor.

Menyeberangi Teluk Kelabat menuju Tanjung Ru  memakan waktu setengah jam, buritan perahu  langsung menabrak pantai berpasir, sebatang balok kayu dijadikan titian untuk membantu penumpang turun dari buritan prahu, pelabuhan rakyat Tanjung Ru adalah pelabuhan tanpa dermaga, masuk wilayah administrasi Desa Bakit, kecamatan Parit Tiga Jebus.

Pelabuhan rakyat Tanjung Gudang

Batu Dinding

Batu Dinding
Batu Dinding

Tanjung Ru kami melanjutkan perjalanan menuju Muntok, di Kampung Telak kami shalat jumat dan makan siang di warung pecel ayam Lamongan yang pedagangnya asli perantau dari jawa

Memasuki Jebus hari sudah sore, untuk sampai ke Muntok masih 60 km lagi, kami sempat ditawarkan Ari kawan kami yang di Muntok untuk menginap dirumah saudaranya di Jebus, dipastikan kami akan malam tiba di Muntok bila melajutkan perjalanan. Seusai shalat Ashar saya dan bang Hendry berunding dan sepakat melanjutkan perjalanan sampai hari ketemu gelap.

Maghrib kami tiba di Simpang Ibul, setelah makan malam dengan menu sop daging dan lagi – lagi orang perantauan dari jawa yang jualan, tepatnya dari Surabaya. Kami bertanya dimana ada mushala atau mesjid terdekat, menurut pemilik warung kalau yang menuju kearah Muntok kira – kira masih 3 km lagi akan bertemu masjid, prakteknya kami baru bertemu masjid 10 km berikutnya, disayangkan masjid yang kami maksud sedang dihancurkan dan akan dibangun masjid yang baru dan lebih bagus.

Kami lanjutkan perjalanan membelah kegelapan malam, kami menemukan masjid yang besar berada ditengah perkampungan, kami meminta izin kepada marbot masjid untuk menumpang bermalam, oleh marbot masjid kami disuruh untuk izin kekepala desa, karena males ribet birokrasi, kami memilih melanjutkan perjalanan.

Terdengar sayu - sayu adzan Isya kumandang , saya dan Bang Hendry senang sekali mendengar suara adzan, berarti tidak lama lagi kami akan bertemu masjid, kami tiba didesa Mayang. Kami bertemu dengan masjid besar dipinggir jalan, bergegas kami berganti pakaian untuk ikut shalat isya berjamaah, usai shalat berjamaah kami meminta izin untuk bermalam untuk esok setelah shalat subuh melanjutkan perjalanan ke Muntok.

(14/06/14) Sesudah shalat Subuh kami berpamitan dan melanjutkan perjalanan dikegelapan subuh. Jarak dari Mayang menuju Muntok tersisa 30 km, perjalanan banyak membelah perkebunan sawit, pagi itu kami melewati pom bensin yang dipenuhi antrean panjang truk – truk yang akan mengisi solar bersubsidi.

Langit pagi masih saja gelap berselimut awan tebal, perlahan hujan rintik – rintik turun, kami sempat berhenti sejenak untuk merapihkan muatan agar tidak sampai kebasahan, saat jalan sedang menanjak, tiba –tiba hujan turun dengan derasnya, kami mampir disebuah warung kelontong untuk berteduh dan sarapan membeli roti, setelah hujan mereda, kami lanjutkan perjalanan menuju Muntok.

Kami makan siang di warung nasi Surabaya didepan SMPN 1 Muntok, lama kami disini berteduh dari derasnya hujan, bercerita si Ibu warung yang asli Surabaya, warung nasinya tidak seramai saat masyarakat Bangka masih punya tambang - tambang pribadi yang produktif, sekarang banyak tambang – tambang liar yang ditinggalkan begitu saja karena sudah tidak produktif, berimbas ke bisnis warung nasi si Ibu, hujan telah berhenti, kami berpamitan dan melanjutkan perjalanan yang tersisa beberapa kilo lagi untuk sampai ke kawasan pelabuhan Muntok.

Kami mampir ke Pos TNI AL untuk bersilahturahmi dan istirahat sambil menunggu Ari. Kami diajak Ari bermalam di cottage sederhananya di pesisir pantai, oleh Ari malam itu kami bakar ikan kerapu dan disuguhi kerupuk khas Bangka serta otak – otak ikan, ditemani klakson dan terang lampu kapal ferry yang akan menyeberang dari Tanjung Kelian ke Palembang dan sebaliknya memecah kesunyuian dan kegelapan malam.

Jalan raya Pangkal Pinang - Muntok

Museum Timah Indonesia


Tiba dikota Muntok

Pos TNI AL Muntok

Foto bareng anggota Pos TNI AL Muntok

Jalan pintas menuju Tanjung Kelian

Cottage kami di Tanjung Kelian

Cottage kami di Tanjung Kelian

Menara suar Tanjung Kelian


(15/06/14) Pagi kami sempatkan mampir ke Pelabuhan Tanjung Kelian, untuk melihat menara suar peninggalan Belanda, bangkai – bangkai kapal perang di Pantai Tanjung Kelian. Berlanjut berkeliling kota tua Muntok, berjejer gedung – gedung tua peninggalan Belanda, sangat disayangkan beberapa ada yang tidak terawat.

“Rumah Mayor China” warga setempat menyebutnya rumah mayor, adalah rumah kediaman Mayor Chung A Tiam, Mayor kedua yang diangkat oleh Pemerintah Belanda sebagai kepala masyarakat cina. masyarakat cina di Muntok didatangkan oleh pemerintah kolonial belanda melalui perusahaan tambang timah Banka Tin Winning Berdrijf (BTW) sebagai pemegang monopoli penambangan timah, rumah bergaya arsitektur Eropa dengan pilar – pilar besar, diatas pintu masuk terdapat tulisan cina berwarna emas berdasar warna merah, khas tulisan Cina, diujung – ujung pilarnya terdapat 2 relief Shisa, the guardian lions.

Megah berdiri berdampingan didepan terminal lama, Masjid Jami Muntok dan Kelenteng Kuang Fuk Miay, simbol toleransi masyarakat Bumi Serumpun Sebalai, Masjid Jami Muntok bangunan masjid tertua di Pulau Bangka ini didirikan tahun 1879M (19 Muharam 1300H) pada masa pemerintahan H. Abang Muhammad Ali dengan Gelar Tumenggung Karta Negara II dibantu tokoh - tokoh masyarakat Muntok yaitu H. Nuh dan H. Yakub termasuk orang-orang Cina Kaya yang sebagian telah masuk Islam dan Mayor Chung A Thiam. Kelenteng Kuang Fuk Miay 83 tahun lebih dulu berdiri sebelum Masjid Jami dibangun, dibangun oleh orang-orang Cina dari suku Kuantang dan Fu kien yan telah lama menetap di Muntok sejak 1820.

Masjid Jami Muntok dan Kelenteng Kuang Fuk Miay

salah satu rumah peninggalan Belanda disudut kota Muntok

Menara Masjid Jami diliat dari pintu masuk Kelenteng Kuang Fuk Miay

Rumah Mayor China

Oleh Ari kami diajak ke terminal bus Muntok yang berada dibelakang pelabuhan lama. Kami dikenalkan dengan Bang Faisal pemilik resto Menumbing yang letaknya didalam terminal, kami ditraktir Bang Faisal sarapan nasi goreng dan kopi O, di resto Menumbing juga menjual oleh – oleh khas Pulau Bangka, saya dan bang Hendry sempatkan berbelanja oleh –oleh. Pagi ini kami berencana loading bus menuju Pangkal Pinang dilanjutkan kembali ke Jakarta menggunakan kapal Ferry dari Pelabuhan Pangkal Balam. KM. Sinar Bangka mengantarkan kami pulang, 30 jam perjalanan laut terlama Pangkal Balam (Pulau Bangka) – Tanjung Priok (Jakarta) adalah rekor terlama perjalanan laut, dan kami menikmatinya.


Bersama Bang Faisal dan keluarga di depan Resto Menumbing

Loading dari Muntok ke Pangkal Pinang

Pelabuhan Pangkal Balam

Menunggu sunset dari buritan Km. Sinar Bangka

KM. Sinar Bangka

KM. Sinar Bangka

Tiba di Tanjung Priok tengah malam

Kapal pandu di Tanjung Priok








Senin, 25 Agustus 2014

ABSEN KOPI TUNG TAU, HADIR OTAK –OTAK ASAM BELINYU #SunsetBabel



Pagi (12/06/14) jam 08.00 setelah sarapan dan foto bareng bang Ryan kami melanjutkan perjalanan menuju Belinyu. ada beberapa target lokasi wisata dan kuliner yang akan kita datangi, diantaranya kopi tungtao yang kesohor berada di dekat pasar Sungai Liat, pantai Parai dan pantai Matras dan terakhir jika sampai Belinyu kuliner otak – otak asamnya.

Setelah menempuh jarak 15 km dari Sungai Liat Sampai kami di pantai Parai, kecewa saat kami sampai dipersimpangan menuju Pantai Parai, bertanya ke warga jarak ke Pantai Parai, Pantai Matras dan lokasi kedai kopo Tung Tau, ternyata kedai kopi Tung Tau sudah terlewat jauh, kami absen menikmati kopi tung tau.

Pantai Parai ternyata sama seperti Pantai Tanjung Pesona, pantainya dikelola oleh resort, untuk masuk kesana kita harus membayar tiket masuk Rp 25.000,- rasanya sayang kalo harus masuk kesana harus mengeluarkan uang senilai makan siang, saya gak pasang strategi memelas, saya dan bang Hendry memilih tidak jadi karena tidak jauh dari pantai Parai, masih ada pantai Matras yang menurut warga tidak dikelola resort. Bersyukur petugasnya berbaik hati, kami diperkenankan masuk tanpa harus membeli tiket masuk, Alhamdulillah.


Pantai Parai

Pantai Parai

Pantai Parai

Pantai Parai

Pantai Parai
Pantai Parai

Kami tidak melanjutkan ke Pantai Matras, karena cukup lama kami tadi di Pantai Matras, kami melanjutkan perjalanan menuju Belinyu. Melewati jalan dengan lalu lintas yang ramai, walau tidak seramai di Jakarta rasanya jadi berbeda dan saya jalan lebih berhati – hati, setelah beberapa hari lalu jalan di Belitung dengan lalu lintas yang sepi.

Sore hari kami sudah masuk gapura Belinyu, kota Belinyunya sendiri masih jauh dari batas kota. Saya melihat pemakaman umum agama Katolik, berjejer rapi dan seragam, nisan berbentuk palang berwarna putih, saya berhenti untuk melihat dan memotret pemakaman umum tersebut. Bang Hendry yang menunggu di pinggir jalan di sapa sesorang dengan kendaraan motor, ternyata dia Om Fransiscus teman sepeda om Robert di Roda – roda Gila, saya dikenalkan ke om Robert dari Opung Sinpo di Pangkal Pinang.

Sampai kami di warung Otak – otak Asam Belinyu, ditemani om Fransiscus dari komunitas sepeda "Roda - roda Gila" Belinyu, lokasinya yang dipinggir jalan menuju Belinyu, dengan bangunan seadanya lebih mirip warung pecel ayam, tidak ada penanda yang istimewa hanya tertulis kecil “Otak – otak Asam”. Kebanyakan orang menyebutnya otak –otak “Goa Maria” karena di depan warung Otak –otak Asam adalah lokasi wisata religi Goa Maria.

 
Taman makam umum umat katolik di Belinyu

Otak - otak asam Belinyu

Otak - otak asam Belinyu

Bersama teman - teman roda - roda gila Belinyu

Oleh om Fransiscus dipesankan 2 jenis otak – otak, berwarna putih dan coklat, warna putih adalah otak – otak dengan isi daging ikan tenggiri dan otak – otak yang coklat adalah kulit dari ikan tenggiri, yang khas adalah sambalnya, tersedia 3 jenis sambal : sambal asam, sambal biasa, dan sambal terasi yang membuat istimewa adalah asam sambalnya dari jeruk kunci khas Bangka. Untuk minumnya om Fransiscus memesankan kami es kacang merah.

Atas saran om Robert dia mengajak kami berkemah di Pantai Lanal Bangka Belitung, ditemani om Robert saya diantarkan ke Lanal, sebelum berkemah saya lapor diri ke pos penjagaan, saya izin kepada pos penjagaan, saya jelaskan maksud dan tujuan perjalanan, dan saya juga beritahu kalau saya aktif di pramuka Saka Bahari, yang kegiatannya dibina oleh Angkatan Laut. Oleh petugas jaga saya diarahkan ke Kapten Widhie beliau adalah pamong Saka Bahari Lanal Bangka Belitung, setelah saya berbicara dan  izin lewat telepon ke Komandan Lanal Kolonel Laut (P) Iwa Kartiwa, saya diarahkan untuk bermalam di sanggar Saka Bahari Lanal Bangka Belitung yang lokasinya menghadap pantai.

Pantai Lanal Babel, Belinyu

Pantai Lanal Babel, Belinyu

Foto bersama didepan pos jaga Lanal Babel

Pantai Lanal Babel

Foto bersama Kapten widhie, pamong saka bahari Lanal Babel