#berburusunset hari ke empat
Semalam saya tidur nyenyak sekali, dikamar
pakai pendingin udara, hal mewah saya rasakan selama perjalanan ini. Pagi
ini saya, Rahmat, Pak Dedi dan ibu pergi ke pantai Bagedur, segar udara
pagi dipantai, terlambat melihat sunrise, tetapi sisa –sisa sunrise masih bisa
kita nikmati, matahari belum terlalu tinggi, langit di ufuk barat masih
terlihat cantik ditabur oleh cahaya matahari yang sedikit terhalang awan –awan
tipis.
Ibu Dedi berjalan kesisi barat pantai,
beliau sedang memoto semburat – semburat cahaya matahari, sama dengan saya
memoto matahari bedanya saya memoto dari tempat, Rahmat asik duduk sambil
merokok di bale – bale yang tersedia di warung – warung pagi itu masih
tutup. Pak Dedi bersepeda menyisiri pantai Bagedur, saya jadi tahu
pantai Bagedur yang berpasir halus itu panjangnya 3km, setelah Pak Dedi
menunjukkan jarak di Cyclometer.
|
Rahmat asyik duduk di bale - bale warung |
|
Pak Heri maen sepeda |
Pak Dedi sehabis main sepeda dia
melanjutkan main bola bersama anak – anak penduduk lokal di pantai, saya dapat
beberapa frame foto lucu siluet anak – anak dan Pak Dedi main bola, selesai Pak
Dedi main bola kami sarapan Mie instan
rebus di warung yang ada dipantai Bagedur, saya ditraktir lagi.
|
Pak Dedi dan Bu Dedi setiap liburan bulan madu terus |
Kembali ke vila kami mandi dan berbenah untuk
melanjutkan perjalanan masing – masing, saya melanjutkan ke Pantai Sawarna dan
Pak Dedi sekeluarga kembali kerumahnya di Tangerang, oleh Bu Dedi sisa makan
malam semalam dan roti dijadikan bekal untuk saya dijalan.
Minggu pagi (01/12/13) itu kami saling
berpamitan, saya sangat bersyukur kenal dengan Pak Dedi karena sudah di ajak
menginap dan banyak masukan beberapa tempat wisata, Pak Dedi dan Bu Dedi hobi
traveling setiap libur mereka pasti jalan, anak – anak mereka sudah berkeluarga
dan pisah jadi setiap jalan mereka berbulan madu terus.
Digerbang Pantai Bagedur kami berpisah, Pak
Dedi dan keluarga belok kiri menuju arah barat, mereka rencananya ingin mampir
ke Binuangeun dulu, penasaran dengan cerita saya tentang pantai Binuangeun dan
saya belok kanan menuju arah timur melanjutkan ke Pantai sawarna, mampir di
bengkel motor untuk menambah angin ban, saya lupa membawa pompa kecil, sepele, jika terjadi ban bocor jadi pekerjaan besar, harus mendorong
sepeda penuh muatan ke bengkel motor terdekat, saya harus lebih teliti lagi
sebelum jalan.
Sepanjang jalan dari Binuangeun dan
sekarang saya melanjutkan dari Pantai Bagedur menuju Malingping, jalan rayanya
baru saja selesai di aspal hotmix, saya laksana raja yang digelar karpet merah.
jalan yang datar saya jadi bisa memacu gowesan rata – rata 20km/jam. Melihat aktifitas petani membajak sawah menggunakan kerbau sudah sangat jarang menjadi hiburan tersendiri.
| |
membajak sawah |
|
sawah sehabis dibajak |
|
menanam benih |
Sampai di pertigaan Malingping saya belok
kanan selepas jembatan saya masuk pasar yang tidak takut kebanjiran, ya! Pasar
Suka Hujan, pasar yang terletak di desa Pondok Panjang, kecamatan Cihara ini
lucu, menghibur dikala panas terik.
Selepas pasar Suka Hujan kembali mata
dimanjakan pesisir pantai Cihara, beberapa kali berhenti untuk
mengabadikan alam pesisir khas pantai selatan dengan ombaknya yang besar.
|
pantai Cihara |
|
pantai Cihara |
|
pantai Cihara |
|
pantai Cihara |
Melihat sungai jernih kehijauan dari atas
jembatan dan beberapa orang dewasa laki – laki mandi dan renang, jiwa ini goyah,
saya turun ke bawah membawa sepeda, mereka yang sedang renang dan mandi ini adalah para buruh gali pasir yang
terdapat di pantai dekat muara, disela saat istirahatnya siang itu mereka isi
dengan menyegarkan diri mandi disungai, basa - basi sebentar dengan memesan
segelas kopi dan ngobrol dengan para buruh yang sedang istirahat diwarung kecil
bertanya tentang muara tersebut, bagaimana juga saya pendatang perlu permisi
dan izin.
Setelah lampu hijau diberikan dan
diingatkan agar jangan terlalu ketengah karena dalam, saya turun dan bergabung
ikut renang dengan mereka, hah! Ternyata mereka renang dengan telanjang bulat,
siapa takut saya juga berani, ayo aja kalau mau adu pedang haha.. bingung
mereka dengan kepedean saya yang jelas – jelas bukan orang pribumi, renang
telanjang bulat dialam terbuka dengan pemandangan laut pantai selatan, tidak
tenilai bagi saya.
|
renang di muara Cihara |
|
muara Cihara |
Makan siang dirumah makan tidak jauh dari
tempat tadi saya renang, sempat berbincang dengan penduduk setempat yang sedang
ngopi, mereka cerita truk – truk besar yang lewat didepan milik haji X (lupa
namanya kita sebut aja X), dahulu hidupnya sederhana Haji X, tapi setelah
tanahnya diketahui mengandung batubara,
dia sekarang kaya raya, kemarin dia habis beli 2 buah bis pariwisata cerita
mereka, saya memang tidak bertanya juga tidak rugi mendengar ceritanya,
setidaknya kopi siang ini ditemani cerita kayanya orang pribumi.
Tidak jauh dari jembatan menjelang pantai
Bayah disisi kiri jalan saya melihat ada 2 orang nyaris bertelanjang bulat
sedang mengais sampah mencari makanan – makanan sisa, lemas saya melihatnya,
berhenti sebentar untuk bongkar muatan logistik dipannier yang saya bawa
termasuk bekal makanan dari Bu Dedi.
|
selepas jembatan ini saya bertemu orang merdeka |
Dipanggil - panggil tidak menyahut,
akhirnya saya samperin mereka yang berada diantar tumpukan sampah, saat saya
memberi dan mereka menerima kami tidak ada komunikasi, hanya saling pandang
sesaat, bagi saya saling pandang merupakan komunikasi.
Maaf saya tidak setuju menyebut mereka
orang gila, tapi itulah pilihan cara hidup mereka. Ada suku jawa, batak, asmat dengan cara
adatnya mereka hidup, mereka punya cara dan adat untuk hidup, saya lebih suka
menyebut mereka “orang merdeka”, saya salut cara bertahan hidup mereka.
Pemandangan yang tidak enak saat saya
memasuki Pantai Bayah, lalu lalang truk besar dan aktifitas proyek pembangunan
pabrik semen di atas bukit, dan dermaga untuk kapal disisi pantai, akan habis lagi bukit - bukit kapur ini ditambang untuk bahan baku pabrik semen.
Sore saya tiba di Pulo Manuk, awalnya saya
masuk disisi pantai sebelum muara, kenapa saya merasakan tidak nyaman kalu bermalam
disini, warung – warungnya lebih tertutup, bale – bale terpisah dari warung,
penjaga warung berpakaian sedikit terbuka dan suara musik yang distel keras,
saya akhirnya menyeberang muara disisi ini ada tempat wisata yang dikelola
perhutani.
Seizin Pak Ujang pengelola wana wisata
Pulomanuk, berencana malam ini menginap disini, ngobrol dengan Pak
Ujang dari bagaimana mengelola tempat wisata yang benar, mempromosikan sampai
pengen belajar fotografi.
|
ditemani monyet di Pulo Manuk |
|
muara Pulo Manuk |
|
Sedikit tahu saya
memberi masukan tentang ekowisata, untuk promosi saya arahkan Pak Ujang untuk
belajar internet dan gabung ke media
sosial karena media sosial cara yang efetif dan tepat berpromosi murah, didukung
dokumentasi bagus dan fakta – fakta yang menarik dari tempat wisata tersebut.
Pak Ujang melihat saya sedang foto – foto
dia berminat untuk belajar, saya tanya pak Ujang punya kamera? Dia bilang
enggak, kalo HP berkamera? dijawab iya, mulai dari itu aja pak kameranya untuk
belajar, sering – sering memotret dan lihat foto – foto dari majalah atau
Koran sebagi referensi, tapi pak Ujang mau belajar kamera DSLR karena menurut dia hasil foto –
fotonya lebih bagus, kamera yang saya bawa kemana – mana Cuma kamera pocket,
karena ini yang sanggup saya beli, malah untuk kebutuhan update di media sosial
saya pakai kamera handphone.
Tidak menjamin kamera bagus
akan menghasilkan foto bagus juga, kalau si pemilik kamera DSLR tidak menguasai
teknik dan sisi seni dalam memotret tetap saja hasilnya tidak bagus.
Sebenarnya saya tidak mengerti fotografi,
selain memang tidak sanggup membeli kamera DSLR saya juga penganut mensyukuri
nikmat kemajuan teknologi, Selama ini untuk foto saya menggunakan setting
pintar (auto) di kamera pocket, feeling sentuhan seni yang bekerja secara
manual.
Malam ini saya bermalam di wana wisata pulo
manuk, sebenarnya saya ditawari menginap dirumah ibu warung dan teman jagawana
pak Ujang yang tidak jauh dari sini, tapi malam ini saya ingin tidur di alam
terbuka, 3 hari perjalanan sebelumnya saya belum pernah tidur di alam terbuka.
Pak Ujang memberi tahu posisi kunci MCK
jika ingin mandi atau buang air, malam ini saya tidak membuka tenda tapi saya
tidur dibale – bale warung, karena gerimis belum juga reda. Akhirnya kompor dan
peralatan masak terpakai pakai juga untuk memasak mie instan dan kopi.
Inginnya malam ini tidur dinina bobo suara ombak, apa mau dikata harus
ditemani suara hingar - bingar musik dari seberang muara. Saya tidak tidur
sendirian, ditemani nenek - nenek yang tidur disisi warung yang lain, menurut
ibu warung si nenek dibuang oleh anaknya dari rumah karena kurang
(gila), selama ini dia tidur di bale – bale warung, kalau pagi si nenek rajin
nyapu halaman warung, makanya sama ibu warung si nenek tidak di usir, makan sehari – hari dikasih dari para pemilik warung. Durhakanya itu anak.