Sabtu, 28 Desember 2013

GONDANG YANG KONDANG

#berburusunset hari ke enam

Jangan menghayal melibas tanjakan Bukit Habibie, hadapin dulu tanjakan Gondang' bunyi pesan whatsapp dari teman yang sudah sering ke Sawarna, bikin galau juga pesan yang dikirim teman, sebenarnya bisa lewat Cikotok, jalannya lebih ringan, tapi yang bikin males harus kembali lewat jalan kemarin datang dan jaraknya yang jauh. tanjakan Gondang cukup kondang dikalangan teman - teman sepeda, tidak sah kalau dari Sawarna tidak lewat sini.

Baru setengah jalan di tanjakan Gondang rasanya nafas sudah mau putus, yakin motor  lewat jalan ini pasti pakai gigi satu, lempar handuk ditanjakan Gondang, saya memilih menuntun sepeda, kalaupun  mau loading pasti tidak ada yang mau berhenti di tanjakan curam gini, kepakai juga pengalaman nuntun sepeda waktu ke Papandayan. 

setelah bersusah payah menghadapi tanjakan Gondang, saya tiba di pertigaan Cibareno, disini saya istirahat cukup lama, lemesin dengkul  sambil mengecek sepeda, ternyata ada satu jari - jari velg belakang yang putus, sambil melanjutkan perjalanan saya mencari bengkel sepeda, ada 2 bengkel sepeda di Cibareno tapi tidak ada yang jual jari - jari diameter 26 inchi kebanyakan jual sepeda anak- anak.

landscape pantai dari Puncak Habibie

Tanjakan Bukit Habibie dapat saya lalui tanpa menuntun, walau sebentar - bentar berhenti buat mengatur nafas, panas terik siang itu (03/12/13) masih kalah dengan rasa takut dengan jari - jari yang patah, istirahat makan siang di Puncak Habibie sekalian mencari informasi toko sepeda di Pelabuhan Ratu dari teman - teman di Facebook, alhamdulillah respon diterima dengan cepat, sampai ada teman yang menawarkan untuk menjemput dari Jakarta, salut dengan persaudaraan teman - teman di sepeda.

Tiba di Cimaja jam 14.30 hujan turun rintik - rintik, saya hanya punya waktu 1,5 jam harus tiba di Pelabuhan Ratu, karena info dari teman jam 16.00 toko sepedanya tutup. hujan - hujanan saya bawa sepeda dengan kecepatan rata - rata diatas 20 km/jam, bersyukur walau harus basah kuyup hujan - hujanan tiba di toko sepeda yang berada dibelakang pasar Pelabuhan Ratu ini masih buka, selain ganti jari - jari sepeda saya servis ringan dan membeli pompa tangan.

ganti jari - jari yang patah
jalan ke bengkel sepeda di Pelabuhan Ratu

Hari ini saya bermalam Pos TNI AL Pelabuhan Ratu yang berada di Kampung Cipatuguran, alhamdulillah diterima dengan baik oleh piket jaga Sertu Asep Dian, malam ini menu makan malam kami ikan cakalang segar. hari ini tercatat di cyclometer saya menempuh 53,25 km.

bersama Sertu Asep Dian dan salah satu nelayan dari Makassar

Rabu, 18 Desember 2013

SAWARNA TIDAK SEWARNA



#berburusunset Hari kelima

Subuh (02/12/13) sudah bangun, selain karena berisik suara mesin motor perahu congkreng dan aktifitas nelayan yang mau mengambil bubu udang lobster disekitar Pulomanuk, saya ingin foto sunrise, sayang langit yang mendung dan gerimis menghalangi matahari terbit.

Pulo Manuk
Sarapan pagi  ditemani monyet – monyet yang sedang mengais -ngais sampah sisa makanan pengunjung. Saya membuat kopi hitam untuk saya dan beberapa nelayan bubu udang, hari ini mereka belum bisa mengangkat bubu karena air laut yang masih pasang dan ombak yang tinggi, sulit untuk mengambil bubu yang berada didasar laut diantara karang – karang, tidak terlalu dalam tapi cukup menyulitkan jika ombaknya besar. 
teman di Pulo Manuk

Pukul 07.00 saya sudah selesai berkemas saya melanjutkan perjalanan menuju Pantai Sawarna. Membelah Gunung Kembang lumayan juga pagi – pagi langsung dikasih sarapan tanjakan, akhir dari tanjakan Gunung Kembang adalah turunan cariang, gak kebayang kalau kondisinya dibalik gimana rasanya nanjaknya, ini aja turun rem sepeda uda ngunci ban belakang masih slip.

Tidak berapa jauh dari turunan Cariang disisi kanan ada gapura bertulis objek wisata Gua Langir, saya belok kanan dan masuk mengikuti jalan yang cukup 2 motor, tidak berapa jauh saya sudah bertemu dengan Gua Langir tapi saya tidak tertarik, saya lebih tertarik di ujung jalan hamparan pasir putih dan bukit – bukit tinggi disisi laut.

Gua Langir dan pasir putihnya

Lama saya menikmati pemandangan yang indah ini sambil saya mengabadikan landscape yang indah, selesai dari sini saya lanjutkan perjalanan menuju desa Sawarna, sebelumnya saya sudah menghubungi kang Hendi pemilik homestay, homestay kang Hendi memang direkomendasi yang biasa dipakai teman – teman pesepeda yang gowes kesana.

Terpikir desa Sawarna sepi tenang, ternyata didepan pintu masuk desa Sawarna sudah ada dua minimarket, selepas menyeberang jembatan gantung saya membayar tiket masuk pantai Sawarna sebesar Rp. 5000,- tiba dihomestay kang Hendi saya bertemu istrinya, tadi ditelepon kang Hendi ngabarin lagi perjalanan balik dari Pelabuhan Ratu.

Welcome drink segelas teh manis hangat disediakan teteh, saya bongkar muatan pannier disepeda dan saya masukan ke kamar, saya cek fisik sepeda ternyata ada satu jari – jari wheelshet belakang patah, salahnya saya tidak memperhitungkan membawa sparepart jari – jari dan kuncinya, ya sudah biar besok diperjalanan mencari bengkel sepeda.

Selesai mencuci baju – baju kotor, saya masuk kamar karena masih pagi saya memilih tidur dan ngecharge handphone dan battery kamera, siang nanti baru jalan keliling – keliling.

Istirahat sudah cukup, sekarang waktunya makan siang, saya kebelakang rumah nyari teteh. Ternyata dibelakang kang Hendi punya saung bertingkat, pasti saung ini yang diceritain teman – teman yang biasa dipake santai – santai, asyik juga pemandangannya sawah, saya ngobrol dengan kang Hendi di saung sambil menunggu makan siang siap. Ada beberapa tempat yang direkomendasi kang Hendi untuk dikunjungi.

Makan siang sudah, ditemani gerimis saya bersepeda menuju pantai Sawarna, pantai dengan hamparan pasir putih yang luas, banyak berjejer warung – warung dipinggir pantai, setelah puas saya melanjutkan ke Tanjung Layar, untungnya bersepeda saya tidak pelu jalan kaki karena jaraknya yang lumayan jauh, di Tanjung Layar saya tidak dapat foto bagus karena masih gerimis.
 
tanjung Layar
saya lanjutkan menuju ke Legon Pari, ada dua cara untuk kesana lewat jalan setapak mendaki satu bukit, atau keluar dulu ke jalan raya lalu masuk dari sana, saya memilih memotong jalan lewat bukit karena lebih dekat dengan jalan setapak dengan resiko sepeda harus dituntun dan jalan menyisiri pantai.

Pantai Legon Pari keindahannya terletak pada bentuk pantainya yang berbentuk teluk kecil, disetiap sisi kita akan melihat pantai berpasir putih, dengan ombak yang tidak terlalu besar karena itu  nelayan banyak menyandarkan perahu congkrengnya disini, seorang teman Asep Kamaludin yang sudah kami anggap lurahnya desa Sawarna karena sejak Desa Sawarna masih sepi wisatawan dia sudah sering kesini menyarankan kalau ingin mendapat sunrise bagus, Legon Pari tempat yang tepat.
 
Legon Pari
Legon Pari
Legon Pari
 
jembatan gantung dari Legon Pari

Gerimis sudah berhenti, langit di Legon Pari masih saja mendung, saya memilih kembali ke homestay melewati jalan yang berbeda dengan saat dateng, lebih mudah walau lebih jauh.

Tiba di Homestay jam 17.35 saya lihat langit mulai cerah, mungkin ada kesempatan buat saya untuk berburu sunset, bergegas saya kembali ke Pantai Sawarna berharap bisa mendapat foto – foto bagus saat matahari terbenam.
Pantai Sawarna
Pantai Sawarna
Pantai Sawarna

Pantai Sawarna
 
Pantai Sawarna
 
Pantai Sawarna
Walaupun saya tidak mendapatkan sunset yang sempurna di Pantai, tapi saya berhasil mendapat objek foto – foto siluet cakep dengan latar belakang sunset.


HAH! TELANJANG BULAT? SIAPA TAKUT



#berburusunset hari ke empat

Semalam saya tidur nyenyak sekali, dikamar pakai pendingin udara, hal mewah saya rasakan selama perjalanan ini. Pagi ini saya, Rahmat, Pak Dedi dan ibu pergi ke pantai Bagedur, segar udara pagi dipantai, terlambat melihat sunrise, tetapi sisa –sisa sunrise masih bisa kita nikmati, matahari belum terlalu tinggi, langit di ufuk barat masih terlihat cantik ditabur oleh cahaya matahari yang sedikit terhalang awan –awan tipis.

Ibu Dedi berjalan kesisi barat pantai, beliau sedang memoto semburat – semburat cahaya matahari, sama dengan saya memoto matahari bedanya saya memoto dari tempat, Rahmat asik duduk sambil merokok di bale – bale yang tersedia di warung – warung pagi itu masih tutup. Pak Dedi bersepeda menyisiri pantai Bagedur, saya jadi tahu pantai Bagedur yang berpasir halus itu panjangnya 3km, setelah Pak Dedi menunjukkan jarak di Cyclometer.
 
Rahmat asyik duduk di bale - bale warung
Pak Heri maen sepeda

Pak Dedi sehabis main sepeda dia melanjutkan main bola bersama anak – anak penduduk lokal di pantai, saya dapat beberapa frame foto lucu siluet anak – anak dan Pak Dedi main bola, selesai Pak Dedi main bola  kami sarapan Mie instan rebus di warung yang ada dipantai Bagedur, saya ditraktir lagi.




Pak Dedi dan Bu Dedi setiap liburan bulan madu terus

Kembali ke vila kami mandi dan berbenah untuk melanjutkan perjalanan masing – masing, saya melanjutkan ke Pantai Sawarna dan Pak Dedi sekeluarga kembali kerumahnya di Tangerang, oleh Bu Dedi sisa makan malam semalam dan roti dijadikan bekal untuk saya dijalan.

Minggu pagi (01/12/13) itu kami saling berpamitan, saya sangat bersyukur kenal dengan Pak Dedi karena sudah di ajak menginap dan banyak masukan beberapa tempat wisata, Pak Dedi dan Bu Dedi hobi traveling setiap libur mereka pasti jalan, anak – anak mereka sudah berkeluarga dan pisah jadi setiap jalan mereka berbulan madu terus.

Digerbang Pantai Bagedur kami berpisah, Pak Dedi dan keluarga belok kiri menuju arah barat, mereka rencananya ingin mampir ke Binuangeun dulu, penasaran dengan cerita saya tentang pantai Binuangeun dan saya belok kanan menuju arah timur melanjutkan ke Pantai sawarna, mampir di bengkel motor untuk menambah angin ban, saya lupa membawa pompa kecil, sepele, jika terjadi ban bocor jadi pekerjaan besar, harus mendorong sepeda penuh muatan ke bengkel motor terdekat, saya harus lebih teliti lagi sebelum jalan.

Sepanjang jalan dari Binuangeun dan sekarang saya melanjutkan dari Pantai Bagedur menuju Malingping, jalan rayanya baru saja selesai di aspal hotmix, saya laksana raja yang digelar karpet merah. jalan yang datar saya jadi bisa memacu gowesan rata – rata 20km/jam. Melihat aktifitas petani membajak sawah menggunakan kerbau sudah sangat jarang menjadi hiburan tersendiri.

 
membajak sawah

sawah sehabis dibajak
menanam benih

Sampai di pertigaan Malingping saya belok kanan selepas jembatan saya masuk pasar yang tidak takut kebanjiran, ya! Pasar Suka Hujan, pasar yang terletak di desa Pondok Panjang, kecamatan Cihara ini lucu, menghibur dikala panas terik.

Selepas pasar Suka Hujan kembali mata dimanjakan pesisir pantai Cihara, beberapa kali berhenti untuk mengabadikan alam pesisir khas pantai selatan dengan ombaknya yang besar.
pantai Cihara
pantai Cihara
pantai Cihara
pantai Cihara

Melihat sungai jernih kehijauan dari atas jembatan dan beberapa orang dewasa laki – laki mandi dan renang, jiwa ini goyah, saya turun ke bawah membawa sepeda, mereka yang sedang renang dan  mandi ini adalah para buruh gali pasir yang terdapat di pantai dekat muara, disela saat istirahatnya siang itu mereka isi dengan menyegarkan diri mandi disungai, basa - basi sebentar dengan memesan segelas kopi dan ngobrol dengan para buruh yang sedang istirahat diwarung kecil bertanya tentang muara tersebut, bagaimana juga saya pendatang perlu permisi dan izin.

Setelah lampu hijau diberikan dan diingatkan agar jangan terlalu ketengah karena dalam, saya turun dan bergabung ikut renang dengan mereka, hah! Ternyata mereka renang dengan telanjang bulat, siapa takut saya juga berani, ayo aja kalau mau adu pedang haha.. bingung mereka dengan kepedean saya yang jelas – jelas bukan orang pribumi, renang telanjang bulat dialam terbuka dengan pemandangan laut pantai selatan, tidak tenilai bagi saya.
renang di muara Cihara
muara Cihara

Makan siang dirumah makan tidak jauh dari tempat tadi saya renang, sempat berbincang dengan penduduk setempat yang sedang ngopi, mereka cerita truk – truk besar yang lewat didepan milik haji X (lupa namanya kita sebut aja X), dahulu hidupnya sederhana Haji X, tapi setelah tanahnya  diketahui mengandung batubara, dia sekarang kaya raya, kemarin dia habis beli 2 buah bis pariwisata cerita mereka, saya memang tidak bertanya juga tidak rugi mendengar ceritanya, setidaknya kopi siang ini ditemani cerita kayanya orang pribumi.

Tidak jauh dari jembatan menjelang pantai Bayah disisi kiri jalan saya melihat ada 2 orang nyaris bertelanjang bulat sedang mengais sampah mencari makanan – makanan sisa, lemas saya melihatnya, berhenti sebentar untuk bongkar muatan logistik dipannier yang saya bawa termasuk bekal makanan dari Bu Dedi.

selepas jembatan ini saya bertemu orang merdeka

Dipanggil - panggil tidak menyahut, akhirnya saya samperin mereka yang berada diantar tumpukan sampah, saat saya memberi dan mereka menerima kami tidak ada komunikasi, hanya saling pandang sesaat, bagi saya saling pandang merupakan komunikasi.

Maaf saya tidak setuju menyebut mereka orang gila, tapi itulah pilihan cara hidup mereka. Ada suku jawa, batak, asmat dengan cara adatnya mereka hidup, mereka punya cara dan adat untuk hidup, saya lebih suka menyebut mereka “orang merdeka”, saya salut cara bertahan hidup mereka.

Pemandangan yang tidak enak saat saya memasuki Pantai Bayah, lalu lalang truk besar dan aktifitas proyek pembangunan pabrik semen di atas bukit, dan dermaga untuk kapal disisi pantai, akan habis lagi bukit - bukit kapur ini ditambang untuk bahan baku pabrik semen.

Sore saya tiba di Pulo Manuk, awalnya saya masuk disisi pantai sebelum muara, kenapa saya merasakan tidak nyaman kalu bermalam disini, warung – warungnya lebih tertutup, bale – bale terpisah dari warung, penjaga warung berpakaian sedikit terbuka dan suara musik yang distel keras, saya akhirnya menyeberang muara disisi ini ada tempat wisata yang dikelola perhutani.

Seizin Pak Ujang pengelola wana wisata Pulomanuk, berencana malam ini menginap disini, ngobrol dengan Pak Ujang dari bagaimana mengelola tempat wisata yang benar, mempromosikan sampai pengen belajar fotografi.
ditemani monyet di Pulo Manuk

muara Pulo Manuk
Sedikit tahu saya memberi masukan tentang ekowisata, untuk promosi saya arahkan Pak Ujang untuk belajar internet dan gabung ke  media sosial karena media sosial cara yang efetif dan tepat berpromosi murah, didukung dokumentasi bagus dan fakta – fakta yang menarik dari tempat wisata tersebut.

Pak Ujang melihat saya sedang foto – foto dia berminat untuk belajar, saya tanya pak Ujang punya kamera? Dia bilang enggak, kalo HP berkamera? dijawab iya, mulai dari itu aja pak kameranya untuk belajar, sering – sering memotret dan lihat foto – foto dari majalah atau Koran sebagi referensi, tapi pak Ujang mau belajar kamera DSLR karena menurut dia hasil foto – fotonya lebih bagus, kamera yang saya bawa kemana – mana Cuma kamera pocket, karena ini yang sanggup saya beli, malah untuk kebutuhan update di media sosial saya pakai kamera handphone.

Tidak menjamin kamera bagus akan menghasilkan foto bagus juga, kalau si pemilik kamera DSLR tidak menguasai teknik dan sisi seni dalam memotret tetap saja hasilnya tidak bagus.

Sebenarnya saya tidak mengerti fotografi, selain memang tidak sanggup membeli kamera DSLR saya juga penganut mensyukuri nikmat kemajuan teknologi, Selama ini untuk foto saya menggunakan setting pintar (auto) di kamera pocket, feeling sentuhan seni yang bekerja secara manual.

Malam ini saya bermalam di wana wisata pulo manuk, sebenarnya saya ditawari menginap dirumah ibu warung dan teman jagawana pak Ujang yang tidak jauh dari sini, tapi malam ini saya ingin tidur di alam terbuka, 3 hari perjalanan sebelumnya saya belum pernah tidur di alam terbuka.

Pak Ujang memberi tahu posisi kunci MCK jika ingin mandi atau buang air, malam ini saya tidak membuka tenda tapi saya tidur dibale – bale warung, karena gerimis belum juga reda. Akhirnya kompor dan peralatan masak terpakai pakai juga untuk memasak mie instan dan kopi.

Inginnya malam ini tidur dinina bobo suara ombak, apa mau dikata harus ditemani suara hingar - bingar musik dari seberang muara. Saya tidak tidur sendirian, ditemani nenek - nenek yang tidur disisi warung yang lain, menurut ibu warung si nenek dibuang oleh anaknya dari rumah karena kurang (gila), selama ini dia tidur di bale – bale warung, kalau pagi si nenek rajin nyapu halaman warung, makanya sama ibu warung si nenek tidak di usir, makan sehari – hari dikasih dari para pemilik warung. Durhakanya itu anak.

Minggu, 15 Desember 2013

BEKAL AIR DOA DARI GURU SPIRITUAL UJUNG KULON



#berburusunset hari ketiga

“Air ini dari sumur di pulau Peucang kamu bawa buat anak kamu Bumi biar lebih pintar dan sehat” Pak Heri titip untuk anak saya senandung Bumi.

Sabtu pagi (30/11/13) pukul 07.30 setelah diberi oleh – oleh sebotol air sumur pulau Peucang dan didoakan agar perjalanan berjalan lancar saya berpamitan dengan pak Heri dan bu RT karena pak RT belum pulang kerja.

Tidak sampai setengah jam tiba di Cibaliung, sarapan kupat tahu, pagi ini ramai orang – orang menumpang naik mobil bak dan motor yang ingin ke lapangan kecamatan Cibaliung, ternyata ada acara santunan 1000 anak yatim oleh kyai Saadih dari Jakarta, saya ingat beliau karena saya pernah berobat sama beliau, pengobatan tradisional dan gratis yang ada malah dikasih ongkos pulang sama Kyai Saadih.

Perjalanan hari ini sangat terik, mataharinya pede abis  menunjukkan dirinya, kondisi jalan yang masih naik turun membuat perjalanan semakin aduhai, walau kondisi panas terik saya masih bisa menikmati perjalanan karena jalan yang tidak terlalu ramai lalu lintasnya dan pemandangan khas pegunungan yang menghibur mata, sejenak lupa badan yang sudah bermandi keringat.

Sedia “Sop daging sapi” siapa yang gak tergoda disaat panas terik dan badan lelah, makan siangnya menu sop daging sapi panas, pasti segerr.. setelah makan siang gagal mau rebahan sukses direcokin segeng anak kecil berisik nanyain sepeda saya, terpaksa harus ngejelasin apa yang dibawa, mau ngapain, darimana mau kemana.

Dari pertigaan Cikeusik tempat makan siang saya melanjutkan gowes menuju Muara Binuangeun, kira – kira 7 km menjelang Muara Binuangeun saya mampir di masjid untuk shalat Dzuhur dan mandi pagi, saat di kampung Gunung Keneng saya gagal mandi kelamaan ngantri kalah set sama ibu – ibu yang lagi nyuci baju sambil kembenan kain dipinggir sawah tempat sumber air. 

Bau khas pesisir asin – asin amis, jalan raya yang mulai datar sejajar disisi kiri jalan sungai besar dengan beberapa perahu congkreng bersandar, siang itu 14.20 saya tiba di Muara Binuangeun, memesan segelas es teh botol untuk melepas dahaga sambil melihat dan mendokumentasikan aktifitas perahu – perahu nelayan di Muara Binuangeun dari atas jembatan.
Muara Binuangeun dari atas jembatan


Aktifitas TPI Muara Binuangeun, sepertinya ikan yang dijual hasil tangkapan pagi tadi, lemas saat mata melihat ibu – ibu menjual sirip anak ikan hiu dan beberapa anak ikan hiu martil, ikan – ikan itu kan dilindungi.
anak hiu martil dijual bebas
 
poster dicai ikan segar hiu dan pari
“Dicari ikan hidup dan sehat Pari Rina / Hiu Kadevo / Hiu Batu / Pari gitar dari harga Rp 600.000 sampai Rp 7.000.000” poster yang menempel di salah satu dinding TPI, saya kurang paham ikan pari dan hiu jenis tersebut termasuk dilindungi oleh Negara atau tidak, tapi yang jelas melihat harganya jelas memancing nelayan untuk memburu besar – besaran dan mengancam kepunahan.

Melanjutkan perjalanan ke tempat wisata pantai Binuangeun, disalah satu warung pinggir pantai ada sekumpulan orang lagi minum – minum saya menyapa permisi untuk numpang lewat dan izin mau ambil foto, tanpa jawaban sorot matanya tajam melihat saya, mungkin dia merasa menang sebagai penduduk lokal dan mau memeras saya males ngeliat datengnya naik sepeda, tidak saya hiraukan yang penting saya sudah beretika dirumah orang dengan permisi dan izin.
Pantai Binuangeun

Setelah shalat Ashar masjid di Binuangeun saya melanjutkan perjalanan menuju Malingping, info yang saya dapat saat dari pemilik warung saat saya minum, kemungkinan bermalam adalah di Pantai Bagedur kalo melanjutkan ke Malingping pasti kemalaman, jalan dengan aspal baru, kontur jalan yang datar kecepatan dan cuaca tidak terlalu terik membuat saya bisa bersepeda lebih kencang, mampir di minimarket untuk belanja air mineral dan mie instant buat persiapan berkemah di Pantai Bagedur.

Sore hari tiba di Pantai Bagedur, langit cukup cerah satu hari ini saya tidak diguyur hujan langit cerah sepanjang jalan mungkin ini sunset pertama setelah perburuan dihari ketiga? Tidak mau menyia – nyiakan momen sunset, saya menyiapkan kamera pocket dan tripot kecil untuk foto – foto, beberapa kali saya memoto sepeda sebagai objek bayangan dan beberapa kali sepeda jatuh karena susah mendirikan sepeda dipasir pantai yang halus, tanpa sadar dibelakang saya sekelompok gadis yang lagi foto – foto cekikikan liat usaha saya moto sepeda, hadeuh..
 
Pantai Bagedur
Pantai Bagedur
Pantai Bagedur
Berkenalan dengan pak Dedi beliau dosen dipoltekkes Banten yang sedang traveling bersama istrinya, dan saya dikenalkan Rahmat, awalnya berpikir Rahmat anaknya pak Dedi, ternyata teman kerja dikantornya, biasa diajak jalan untuk bawa mobil.
Pak dedi dan istri

Sunset di Pantai Bagedur tidak saya sia – siakan, setiap ada momen aktifitas wisatawan saya jadikan objek bayangan matahari terbenam, lemahnya menggunakan kamera pocket kita harus aktif bergerak nyamperin objek, tidak bisa moto dari jauh karena kamera pocket tidak maksimal zoomnya, inget teman yang sebentar lagi mau melepas lajang, saya sibuk mencari sepasang kekasih yang sedang memadu kasih untuk menjadi objek, malu rasanya saat ketahuan saya moto mereka dari dekat, mau gimana lagi gak mungkin saya bisa moto dari jauh, sebagai tanda maaf saya tunjukin fotonya ke mereka, dan mereka suka saya janjikan akan mengirim softcopy fotonya sebagai bayaran jadi objek foto.
butuh asisten
 
mesra disaat sunset
Malam ini saya menginap di vila Pantai Bagedur atas ajakan pak Dedi, malamnya saya mengecek cyclometer, hari ke tiga saya menempuh jarak 69,73 km.

GAGAL BERKEMAH DITANJUNG LESUNG



#berburusunset hari kedua

Jumat pagi (29/11/13) pukul 07.00 saya berpamitan dengan Pak Endang rumahnya bersebelahan dengan surau, saya tidak bertemu dengan Pak Dulhalim karena beliau sudah kepasar setelah shalat subuh untuk belanja, sebelum berangkat melanjutkan perjalanan saya disajikan kopi hitam oleh Pak endang, segelas kopi hitam menambah semangat saya melanjutkan perjalanan.

Langit sedikit mendung melepas keberangkatan saya untuk melanjutkan perjalanan, walau perut ini kosong belum sarapan pagi, saya cukup bersemangat mengayuh pedal sepeda yang penuh dengan gembolan, kopi hitam buatan pak Endang cukup memberi saya tenaga.
Berpapasan beberapa kali dengan anak – anak yang ingin berangkat sekolah dan mereka melihat dengan bingung ada yang menyapa “good morning” selintas saya dengar ada yang menyebut “bule.. bule” coba itu.. padahal kucel, gembel dan gak ada – ada bulenya, bisa – bisanya dipanggil bule, mungkin mereka jarang melihat orang bersepeda dengan gembolan lumayan banyak, iya saya memang bersepeda membawa rumah, dapur, bengkel sepeda, kamar mandi dan lemari pakaian semua masuk kedalam kantong – kantong ajaib pannier disepeda. 
Muara Panimbang, aktifitas penjual bambu

Gerimis belum juga berhenti, cacing diperut sepakat berdemo agar saya turun, turun dari sadel sepeda segera minggir mencari warung nasi, bertemu warung nasi, cukup menu sederhana yang penting karbonya segunung dengan kuah yang melimpah, enaknya rumah makan di Banten dan Jawa Barat banyaknya prasmanan jadi bisa mengambil porsi sesuka hati, untuk menghemat budget lauknya gak perlu banyak yang penting kuah, sambel, lalap dan nasi ambil sesuka hati karena ini menu yang gak dihitung.

Penyakit malas sesudah makan tapi harus dilawan, melanjutkan  gowes menuju Tanjung Lesung, pukul 08.30 tiba dimuara Panimbang, cukup lama disini ntuk mengambil foto, salah satu alasan mengapa memilih bersepeda dipesisir karena saya suka melihat aktifitas nelayan terlebih di pagi hari.

Terlihat disisi barat jembatan perahu – perahu nelayan bersandar ada yang beraktifitas menurunkan hasil tangkapan, ada yang sedang memperbaiki jaring. Di sisi kiri jembatan ada SPBU untuk mengisi BBM perahu, tepat didepan dermaganya ada sebuah kapal yang nyaris seluruh badannya tenggelam, dari arah hulu ada 2 orang mendorong bambu menggunakan galah bambu untuk mendorong satu ikatan bambu – bambu yang berfungsi sebagai rakit juga, mungkin mau dikirim ke muara untuk dijual bambu – bambu ini. Pertigaan Citeureup lurus ke Tanjung Lesung kiri arah Cibaliung, Sumur. Berarti esok setelah bermalam di Tanjung Lesung harus kembali melewati pertigaan ini untuk melanjutkan ke Cibaliung, baiklah.

Pintu masuk Tanjung Lesung siang itu jam 10.30, bertanya kepada satpam yang menjaga gerbang bisa tidak berkemah di Tanjung Lesung? Menurut mereka ada area berkemah di pinggir pantai tapi disana tidak bisa pasang tenda, karena sudah disediakan dalam paket berkemah.

Setelah meninggalkan KTP dan mendapat izin untuk masuk, saya diarahkan menuju ke area berkemah, dan dipersilahkan bertanya ke resepsionis disana untuk info lebih lanjut.

“Good morning” yak sapaan cukup keras dari kejauhan, kaget juga ditempat keren gini masih disangka bule, setelah mendekat saya bertemu dengan guide water activity yang tadi menyapa, setelah saya jelaskan siapa dan bagaimana sampai sini dia cukup kaget, saya bertanya berapa biaya berkemah disini untuk satu orang? 390 ribu dengan fasilitas tenda beralas kasur, kipas angin, 3 kali makan ditambah bonus snorkeling, wow! duit segitu uda ngabisin ¼ budget perjalanan saya.

Coba nego bisa gak kalo saya bayar camp feenya aja, ternyata gak bisa, menyesal juga tidak bisa bermalam disini karena pemandangannya yang aduhai mengarah kegugusan pulau anak Krakatau, ya sudahlah.. dengan berat hati saya tidak bisa berkemah di Tanjung Lesung, setelah mendapat izin untuk mengambil foto – foto kembali kedepan gerbang Tanjung Lesung.
Tanjung Lesung


Tanjung Lesung

Tanjung Lesung

Setelah mengambil KTP saya bertanya ke satpam ada tidak jalan yang lain selain saya harus kembali ke Citeureup untuk ke Cibaliung? Ada dan lebih dekat tapi kondisi jalannya rusak parah, mengambil keputusan yakin saya lebih memilih jalan awal ketika dateng, ingat cerita Budi Contador saat bersepeda ke Cina dia memilih jalan yang rusak pertimbangannya lebih dekat, kenyataannya 90% tidak bisa digowes dan sampai kemalaman ditengah hutan.

Shalat jumat di masjid tidak jauh dari Tanjung Lesung, bingung juga karena gak pake khotbah langsung shalat, tapi yak sudah ikuti aja toh niatnya sama hanya caranya sedikit berbeda.

Selesai shalat jumat saya melanjutkan perjalanan, gerimis belum berhenti, menggoda saya untuk rebahan dulu dimasjid, tapi masih kalah dengan rasa lapar, melanjutkan perjalanan ditemani gerimis, tanpa jas hujan karena saya tidak pernah nyaman saat bersepeda memakai jas hujan, panas! 

Mampir disebuah warung kecil di depan tempat mooring kapal, karena bukan warung nasi saya memesan mie instan dengan nasi, selesai makan saya memesan kopi sambil ngobrol dengan anak pemilik warung yang diwarungnya ada mobil niaga, penasaran saya nanya sama dia kenapa sepanjang jalan rumah yang dipinggir jalan, bangunannya gubuk  tapi pada punya motor yang cukup bagus bahkan punya mobil niaga? Iya menurut mereka rata – rata tanah dipinggir jalan yang berdekatan dengan pesisir banyak sudah dimiliki orang kota, penduduk asli hanya diizinkan membuat bangunan semi permanen yang sewaktu – waktu bisa dibongkar.

Jalan menuju Tanjung Lesung memiliki prospek wisata yang cukup bagus dan belum diolah, didekat Tanjung Lesung terdapat pulau Liwungan yang masih kosong dan jaraknya tidak terlalu jauh, rencana jangka panjang akses jalan seperti tol dan jalan nasional akan dibangun, kabarnya bandara udara propinsi Banten juga akan dibangun tidak jauh dari sini, pantaslah investor melirik daerah ini karena punya nilai investasi besar untuk  jangka panjang.

Dapet telepon dari nomer yang tidak saya kenal, setelah saya angkat ternyata dari om Ramon, dia memperkenalkan diri temannya om Misbah, dia nanya posisi saya dimana karena dapet info dari om Misbah saya ada di Tanjung Lesung, dia mengajak menginap di Tanjung Lesung bersama dia yang sedang bikin trek MTB cross country, penawaran yang sangat menggiurkan, tapi sudah terlalu jauh untuk kembali lagi ke Tanjung Lesung, dengan berat saya menolak dengan pertimbangan jarak jika kembali ke Tanjung Lesung, nasib telat baca whatsapp dari om Misbah.

Selepas pertigaan Citeureup saya mengarah ke Cibaliung, dengan trek yang naik turun lumayan menguras tenaga, memasuki Kampung Gunung Keneng 6 km menjelang kota Cibaliung hari sudah sore, saya mampir dimasjid untuk shalat magrib, jadi tahu daerah ini sulit air karena untuk wudhu saya mengambil air cukup jauh dan kualitas airnya yang keruh, selepas shalat magrib izin kepada jamaah untuk bermalam di masjid, oleh salah satu jamaah saya diarahkan menginap dirumah pak RT, ternyata malam itu pak RT sedang ada kerjaan, saya izin malam itu menginap dipos kamling, malam itu kami ngobrol banyak sambil ngopi dengan warga dipos kamling, warga disini hidupnya sangat sederhana namun bersahaja saya merasakan keakraban kekeluargaan, karena lapar belum makan malam saya izin sama warga untuk makan bekal popmie, salah satu warga ada yang pulang kerumah dan kembali membawa sepiring nasi, garam dan cabe katanya hanya ada ini buat dimakan, sungguh hangat malam ini digunung keneng.  
masjid di Gunung Keneng
ngopi dan ngobrol bersama warga Gunung Keneng

dirumah pak Heri saya bermalam di Gunung Keneng

Malam semakin larut satu persatu warga kembali kerumah dan saya bersiap – siap menggelar matras untuk tidur dipos kamling, pak Heri menawarkan bermalam dirumahnya, dirumahnya pak Heri banyak cerita sering membawa tamu ke Ujung Kulon, awalnya saya pikir beliau adalah guide untuk membawa tamu wisatawan kesana, ada yang aneh saat pak Heri menunjukkan foto tamunya kenapa fotonya lagi nyekar ke makam, ternyata pak heri adalah guide untuk mereka yang ingin dientengin jodoh, kenaikan posisi ditempat kerja dengan nyekar ke makam – makam yang ada di Ujung Kulon, guide spiritual Ujung Kulon haha..
Dihari kedua tercatat di Cyclometer 64,12 km jarak tempuh saya hari ini.