Rabu, 18 Desember 2013

HAH! TELANJANG BULAT? SIAPA TAKUT



#berburusunset hari ke empat

Semalam saya tidur nyenyak sekali, dikamar pakai pendingin udara, hal mewah saya rasakan selama perjalanan ini. Pagi ini saya, Rahmat, Pak Dedi dan ibu pergi ke pantai Bagedur, segar udara pagi dipantai, terlambat melihat sunrise, tetapi sisa –sisa sunrise masih bisa kita nikmati, matahari belum terlalu tinggi, langit di ufuk barat masih terlihat cantik ditabur oleh cahaya matahari yang sedikit terhalang awan –awan tipis.

Ibu Dedi berjalan kesisi barat pantai, beliau sedang memoto semburat – semburat cahaya matahari, sama dengan saya memoto matahari bedanya saya memoto dari tempat, Rahmat asik duduk sambil merokok di bale – bale yang tersedia di warung – warung pagi itu masih tutup. Pak Dedi bersepeda menyisiri pantai Bagedur, saya jadi tahu pantai Bagedur yang berpasir halus itu panjangnya 3km, setelah Pak Dedi menunjukkan jarak di Cyclometer.
 
Rahmat asyik duduk di bale - bale warung
Pak Heri maen sepeda

Pak Dedi sehabis main sepeda dia melanjutkan main bola bersama anak – anak penduduk lokal di pantai, saya dapat beberapa frame foto lucu siluet anak – anak dan Pak Dedi main bola, selesai Pak Dedi main bola  kami sarapan Mie instan rebus di warung yang ada dipantai Bagedur, saya ditraktir lagi.




Pak Dedi dan Bu Dedi setiap liburan bulan madu terus

Kembali ke vila kami mandi dan berbenah untuk melanjutkan perjalanan masing – masing, saya melanjutkan ke Pantai Sawarna dan Pak Dedi sekeluarga kembali kerumahnya di Tangerang, oleh Bu Dedi sisa makan malam semalam dan roti dijadikan bekal untuk saya dijalan.

Minggu pagi (01/12/13) itu kami saling berpamitan, saya sangat bersyukur kenal dengan Pak Dedi karena sudah di ajak menginap dan banyak masukan beberapa tempat wisata, Pak Dedi dan Bu Dedi hobi traveling setiap libur mereka pasti jalan, anak – anak mereka sudah berkeluarga dan pisah jadi setiap jalan mereka berbulan madu terus.

Digerbang Pantai Bagedur kami berpisah, Pak Dedi dan keluarga belok kiri menuju arah barat, mereka rencananya ingin mampir ke Binuangeun dulu, penasaran dengan cerita saya tentang pantai Binuangeun dan saya belok kanan menuju arah timur melanjutkan ke Pantai sawarna, mampir di bengkel motor untuk menambah angin ban, saya lupa membawa pompa kecil, sepele, jika terjadi ban bocor jadi pekerjaan besar, harus mendorong sepeda penuh muatan ke bengkel motor terdekat, saya harus lebih teliti lagi sebelum jalan.

Sepanjang jalan dari Binuangeun dan sekarang saya melanjutkan dari Pantai Bagedur menuju Malingping, jalan rayanya baru saja selesai di aspal hotmix, saya laksana raja yang digelar karpet merah. jalan yang datar saya jadi bisa memacu gowesan rata – rata 20km/jam. Melihat aktifitas petani membajak sawah menggunakan kerbau sudah sangat jarang menjadi hiburan tersendiri.

 
membajak sawah

sawah sehabis dibajak
menanam benih

Sampai di pertigaan Malingping saya belok kanan selepas jembatan saya masuk pasar yang tidak takut kebanjiran, ya! Pasar Suka Hujan, pasar yang terletak di desa Pondok Panjang, kecamatan Cihara ini lucu, menghibur dikala panas terik.

Selepas pasar Suka Hujan kembali mata dimanjakan pesisir pantai Cihara, beberapa kali berhenti untuk mengabadikan alam pesisir khas pantai selatan dengan ombaknya yang besar.
pantai Cihara
pantai Cihara
pantai Cihara
pantai Cihara

Melihat sungai jernih kehijauan dari atas jembatan dan beberapa orang dewasa laki – laki mandi dan renang, jiwa ini goyah, saya turun ke bawah membawa sepeda, mereka yang sedang renang dan  mandi ini adalah para buruh gali pasir yang terdapat di pantai dekat muara, disela saat istirahatnya siang itu mereka isi dengan menyegarkan diri mandi disungai, basa - basi sebentar dengan memesan segelas kopi dan ngobrol dengan para buruh yang sedang istirahat diwarung kecil bertanya tentang muara tersebut, bagaimana juga saya pendatang perlu permisi dan izin.

Setelah lampu hijau diberikan dan diingatkan agar jangan terlalu ketengah karena dalam, saya turun dan bergabung ikut renang dengan mereka, hah! Ternyata mereka renang dengan telanjang bulat, siapa takut saya juga berani, ayo aja kalau mau adu pedang haha.. bingung mereka dengan kepedean saya yang jelas – jelas bukan orang pribumi, renang telanjang bulat dialam terbuka dengan pemandangan laut pantai selatan, tidak tenilai bagi saya.
renang di muara Cihara
muara Cihara

Makan siang dirumah makan tidak jauh dari tempat tadi saya renang, sempat berbincang dengan penduduk setempat yang sedang ngopi, mereka cerita truk – truk besar yang lewat didepan milik haji X (lupa namanya kita sebut aja X), dahulu hidupnya sederhana Haji X, tapi setelah tanahnya  diketahui mengandung batubara, dia sekarang kaya raya, kemarin dia habis beli 2 buah bis pariwisata cerita mereka, saya memang tidak bertanya juga tidak rugi mendengar ceritanya, setidaknya kopi siang ini ditemani cerita kayanya orang pribumi.

Tidak jauh dari jembatan menjelang pantai Bayah disisi kiri jalan saya melihat ada 2 orang nyaris bertelanjang bulat sedang mengais sampah mencari makanan – makanan sisa, lemas saya melihatnya, berhenti sebentar untuk bongkar muatan logistik dipannier yang saya bawa termasuk bekal makanan dari Bu Dedi.

selepas jembatan ini saya bertemu orang merdeka

Dipanggil - panggil tidak menyahut, akhirnya saya samperin mereka yang berada diantar tumpukan sampah, saat saya memberi dan mereka menerima kami tidak ada komunikasi, hanya saling pandang sesaat, bagi saya saling pandang merupakan komunikasi.

Maaf saya tidak setuju menyebut mereka orang gila, tapi itulah pilihan cara hidup mereka. Ada suku jawa, batak, asmat dengan cara adatnya mereka hidup, mereka punya cara dan adat untuk hidup, saya lebih suka menyebut mereka “orang merdeka”, saya salut cara bertahan hidup mereka.

Pemandangan yang tidak enak saat saya memasuki Pantai Bayah, lalu lalang truk besar dan aktifitas proyek pembangunan pabrik semen di atas bukit, dan dermaga untuk kapal disisi pantai, akan habis lagi bukit - bukit kapur ini ditambang untuk bahan baku pabrik semen.

Sore saya tiba di Pulo Manuk, awalnya saya masuk disisi pantai sebelum muara, kenapa saya merasakan tidak nyaman kalu bermalam disini, warung – warungnya lebih tertutup, bale – bale terpisah dari warung, penjaga warung berpakaian sedikit terbuka dan suara musik yang distel keras, saya akhirnya menyeberang muara disisi ini ada tempat wisata yang dikelola perhutani.

Seizin Pak Ujang pengelola wana wisata Pulomanuk, berencana malam ini menginap disini, ngobrol dengan Pak Ujang dari bagaimana mengelola tempat wisata yang benar, mempromosikan sampai pengen belajar fotografi.
ditemani monyet di Pulo Manuk

muara Pulo Manuk
Sedikit tahu saya memberi masukan tentang ekowisata, untuk promosi saya arahkan Pak Ujang untuk belajar internet dan gabung ke  media sosial karena media sosial cara yang efetif dan tepat berpromosi murah, didukung dokumentasi bagus dan fakta – fakta yang menarik dari tempat wisata tersebut.

Pak Ujang melihat saya sedang foto – foto dia berminat untuk belajar, saya tanya pak Ujang punya kamera? Dia bilang enggak, kalo HP berkamera? dijawab iya, mulai dari itu aja pak kameranya untuk belajar, sering – sering memotret dan lihat foto – foto dari majalah atau Koran sebagi referensi, tapi pak Ujang mau belajar kamera DSLR karena menurut dia hasil foto – fotonya lebih bagus, kamera yang saya bawa kemana – mana Cuma kamera pocket, karena ini yang sanggup saya beli, malah untuk kebutuhan update di media sosial saya pakai kamera handphone.

Tidak menjamin kamera bagus akan menghasilkan foto bagus juga, kalau si pemilik kamera DSLR tidak menguasai teknik dan sisi seni dalam memotret tetap saja hasilnya tidak bagus.

Sebenarnya saya tidak mengerti fotografi, selain memang tidak sanggup membeli kamera DSLR saya juga penganut mensyukuri nikmat kemajuan teknologi, Selama ini untuk foto saya menggunakan setting pintar (auto) di kamera pocket, feeling sentuhan seni yang bekerja secara manual.

Malam ini saya bermalam di wana wisata pulo manuk, sebenarnya saya ditawari menginap dirumah ibu warung dan teman jagawana pak Ujang yang tidak jauh dari sini, tapi malam ini saya ingin tidur di alam terbuka, 3 hari perjalanan sebelumnya saya belum pernah tidur di alam terbuka.

Pak Ujang memberi tahu posisi kunci MCK jika ingin mandi atau buang air, malam ini saya tidak membuka tenda tapi saya tidur dibale – bale warung, karena gerimis belum juga reda. Akhirnya kompor dan peralatan masak terpakai pakai juga untuk memasak mie instan dan kopi.

Inginnya malam ini tidur dinina bobo suara ombak, apa mau dikata harus ditemani suara hingar - bingar musik dari seberang muara. Saya tidak tidur sendirian, ditemani nenek - nenek yang tidur disisi warung yang lain, menurut ibu warung si nenek dibuang oleh anaknya dari rumah karena kurang (gila), selama ini dia tidur di bale – bale warung, kalau pagi si nenek rajin nyapu halaman warung, makanya sama ibu warung si nenek tidak di usir, makan sehari – hari dikasih dari para pemilik warung. Durhakanya itu anak.

1 komentar :

  1. Sya salut dengan artikel2 ini, salut pada cara memahi apa yang di lihat lalu menuangkannya dalam rangkaian kalmt, sesuatu yang sederhana menjadi istimewa ketiak melht dan tahu setelah membaca, ternyaya di setiap poto2 itu hanya menggunakan kamera pocket baisa, hobi yang di miliki abang sungguh begitu persis sama, sya selalu bermimpi dan ingin sekali rasanya menjadikannya jdi nyata, sya bermimpi dan selalu ingin dan ingin bsa berpetualang dengan sepeda, kmnapun terlebih ke alam2 terbuka, dimanapun bsa bersitrihat dan tidur terlelap sprti di alam2 terbuka terlbh di pinggiran pantai, smoga kisah2 ini dapt smkin mnginspirasi say untuk melaksanakan semua keinginan sya, yang sma persis sprti yang telah abang lakukan.

    salam knal dari saya


    BalasHapus