Senin, 25 Agustus 2014

ABSEN KOPI TUNG TAU, HADIR OTAK –OTAK ASAM BELINYU #SunsetBabel



Pagi (12/06/14) jam 08.00 setelah sarapan dan foto bareng bang Ryan kami melanjutkan perjalanan menuju Belinyu. ada beberapa target lokasi wisata dan kuliner yang akan kita datangi, diantaranya kopi tungtao yang kesohor berada di dekat pasar Sungai Liat, pantai Parai dan pantai Matras dan terakhir jika sampai Belinyu kuliner otak – otak asamnya.

Setelah menempuh jarak 15 km dari Sungai Liat Sampai kami di pantai Parai, kecewa saat kami sampai dipersimpangan menuju Pantai Parai, bertanya ke warga jarak ke Pantai Parai, Pantai Matras dan lokasi kedai kopo Tung Tau, ternyata kedai kopi Tung Tau sudah terlewat jauh, kami absen menikmati kopi tung tau.

Pantai Parai ternyata sama seperti Pantai Tanjung Pesona, pantainya dikelola oleh resort, untuk masuk kesana kita harus membayar tiket masuk Rp 25.000,- rasanya sayang kalo harus masuk kesana harus mengeluarkan uang senilai makan siang, saya gak pasang strategi memelas, saya dan bang Hendry memilih tidak jadi karena tidak jauh dari pantai Parai, masih ada pantai Matras yang menurut warga tidak dikelola resort. Bersyukur petugasnya berbaik hati, kami diperkenankan masuk tanpa harus membeli tiket masuk, Alhamdulillah.


Pantai Parai

Pantai Parai

Pantai Parai

Pantai Parai

Pantai Parai
Pantai Parai

Kami tidak melanjutkan ke Pantai Matras, karena cukup lama kami tadi di Pantai Matras, kami melanjutkan perjalanan menuju Belinyu. Melewati jalan dengan lalu lintas yang ramai, walau tidak seramai di Jakarta rasanya jadi berbeda dan saya jalan lebih berhati – hati, setelah beberapa hari lalu jalan di Belitung dengan lalu lintas yang sepi.

Sore hari kami sudah masuk gapura Belinyu, kota Belinyunya sendiri masih jauh dari batas kota. Saya melihat pemakaman umum agama Katolik, berjejer rapi dan seragam, nisan berbentuk palang berwarna putih, saya berhenti untuk melihat dan memotret pemakaman umum tersebut. Bang Hendry yang menunggu di pinggir jalan di sapa sesorang dengan kendaraan motor, ternyata dia Om Fransiscus teman sepeda om Robert di Roda – roda Gila, saya dikenalkan ke om Robert dari Opung Sinpo di Pangkal Pinang.

Sampai kami di warung Otak – otak Asam Belinyu, ditemani om Fransiscus dari komunitas sepeda "Roda - roda Gila" Belinyu, lokasinya yang dipinggir jalan menuju Belinyu, dengan bangunan seadanya lebih mirip warung pecel ayam, tidak ada penanda yang istimewa hanya tertulis kecil “Otak – otak Asam”. Kebanyakan orang menyebutnya otak –otak “Goa Maria” karena di depan warung Otak –otak Asam adalah lokasi wisata religi Goa Maria.

 
Taman makam umum umat katolik di Belinyu

Otak - otak asam Belinyu

Otak - otak asam Belinyu

Bersama teman - teman roda - roda gila Belinyu

Oleh om Fransiscus dipesankan 2 jenis otak – otak, berwarna putih dan coklat, warna putih adalah otak – otak dengan isi daging ikan tenggiri dan otak – otak yang coklat adalah kulit dari ikan tenggiri, yang khas adalah sambalnya, tersedia 3 jenis sambal : sambal asam, sambal biasa, dan sambal terasi yang membuat istimewa adalah asam sambalnya dari jeruk kunci khas Bangka. Untuk minumnya om Fransiscus memesankan kami es kacang merah.

Atas saran om Robert dia mengajak kami berkemah di Pantai Lanal Bangka Belitung, ditemani om Robert saya diantarkan ke Lanal, sebelum berkemah saya lapor diri ke pos penjagaan, saya izin kepada pos penjagaan, saya jelaskan maksud dan tujuan perjalanan, dan saya juga beritahu kalau saya aktif di pramuka Saka Bahari, yang kegiatannya dibina oleh Angkatan Laut. Oleh petugas jaga saya diarahkan ke Kapten Widhie beliau adalah pamong Saka Bahari Lanal Bangka Belitung, setelah saya berbicara dan  izin lewat telepon ke Komandan Lanal Kolonel Laut (P) Iwa Kartiwa, saya diarahkan untuk bermalam di sanggar Saka Bahari Lanal Bangka Belitung yang lokasinya menghadap pantai.

Pantai Lanal Babel, Belinyu

Pantai Lanal Babel, Belinyu

Foto bersama didepan pos jaga Lanal Babel

Pantai Lanal Babel

Foto bersama Kapten widhie, pamong saka bahari Lanal Babel








Senin, 18 Agustus 2014

MEMELAS DI PANTAI TANJUNG PESONA, SUNGAI LIAT



Subuh (11/06/14) saya sudah bersiap – siap menuju pelabuhan Tanjung Pandan, setelah berpamitan dengan Benk saya lanjutkan bersepeda ke Pelabuhan Tanjung Pandan yang jaraknya tidak sampai 500 meter. Jam 05.30 saya sudah tiba di pelabuhan, masih sepi dan sepertinya saya orang pertama yang tiba di pelabuhan, lebih baik mnunggu lama di pelabuhan daripada harus keburu – buru seperti waktu mau nyebrang ke Belitung seminggu yang lalu.

Pagi itu berangsur calon penumpang KM. Bahari Express tujuan Pangka Balam berdatangan, saya berkenalan dengan bang Adi dan bang Ryan, bang Adi adalah orang asli Belitung dia biasa membawa tamu wisata dan rumahnya biasa juga dijadikan homestay, 10 tahun lebih tua dari saya dan humoris. Bang Ryan adalah wartawan Bangka Pos yang lagi bertugas di Belitung, dan selama disana dia menginap dirumah bang Adi. Bersyukur malam sebelumnya saya sudah minta tolong Yayan untuk dibelikan tiket jetfoil, karena di hari keberangkatan bang Ryan kehabisan tiket, adanya tiket ekstra duduknya di kursi plastik dengan harga tiket sama, terpaksa bang Ryan tetap membelinya daripada baru bisa berangkat lagi esok hari.

Masih sendiri di Pelabuhan Laskar Pelangi, Tanjung Pandan

Pelabuhan Laskar Pelangi, Tanjung Pandan

Bahari Express

Mercu suar pelabuhan Laskar Pelangi, Tanjung Pandan

Jetfoil berangkat jam 08.00, setelah berkabar dengan bang Hendry, agar bersiap – siap di pelabuhan Pangkal Balam siang ini. Bang Hendry menyusul dari Jakarta semalam dan menginap di rumah opung Sinpo di Pangkal Pinang. Jam 12.00 jetfoil bersandar di Pelabuhan Pangkal Balam, Bang Hendry ditemani Opung Sinpo dan ke dua cucunya sudah menunggu di pelabuhan.

Usai makan siang, opung Sinpo mengantarkan saya dan bang Hendry sampai di Selindung Baru, selanjutnya saya akan menuju Sungai Liat lewat jalan yang baru dibuka lintas timur menyusuri pesisir pantai, malam ini kami berniat menginap di Sungai Liat di rumah bang Ryan, dia menawarkan saat di pelabuhan Tanjung Pandan.

Kurang lebih 20 km perjalanan membosankan, datar dengan pemandangan itu – itu saja hutan bakau, lubang – lubang bekas tambang timah, tidak ada perkampungan pemukiman, tidak sepeti yang saya bayangkan akan berjalan dengan sejajar pesisir pantai, jarak pantai ke jalan kurang lebih 100 meter dan tertutup hutan bakau atau hutan cemara laut. Jalan mulai menyempit, jika dilihat dari kontur jalan yang yang naik turun dan hutan – hutan yang lebat sepertinya perjalanan sudah membelah perbukitan dan menjauh dari pesisir.

Lintas timur (jalan baru) menuju Sungai Liat

Lintas timur (jalan baru) menuju Sungai Liat

Lintas timur (jalan baru) menuju Sungai Liat

Lintas timur (jalan baru) menuju Sungai Liat

Sepanjang jalan banyak menemukan area bekas tambang timah

Sudah mulai bertemu perkampungan walau tidak ramai, jalan tidak seperti 20 km pertama selain jalan aspal yang kasar dan beberapa jalannya ada yang berlubang, saya juga melintasi jembatan darurat karena jembatan permanennya terputus, jembatan darurat tersebut dijaga anak kecil untuk mengatur kendaraan yang lewat, bang Hendry sempat bertanya “seharian dapet berapa?” dia jawab “minimal 100 ribu rupiah”, wah! kalo dijakarta pasti jadi rebutan, itu lahan basah.

Jembatan terputus

Membelah perkebunan mangga, saya dapat satu mangga yang jatuh ke jalan. Lumayan bikin segar siang itu, sampai saya di sebuah bukit yang dikiri jalan diatas bukit terdapat kelenteng Toa Pek Kong (Dewa Tanah) yang besar dan disisi kanan pemandangan laut. Pantai Tikus dari lokasi saya berhenti terlihat, akses menuju ke pantai harus  turun ke bawah dan jauh, saya dan bang Hendry berhenti di pinggir jalan untuk foto – foto. Konon kabarnya diatas bukit ini akan dibangun 5 tempat ibadah yang menghadap ke laut oleh pemerintah.

Disisi kiri diatas bukit adalah kelenteng Toa Pek Kongdan sisi kanan adalah pantai tikus

Disisi kiri diatas bukit adalah kelenteng Toa Pek Kongdan sisi kanan adalah pantai tikus

Sehabis istirahat untuk minum diperkampungan yang mayoritas penduduknya keturunan tionghoa (indikasinya hampir disetiap teras rumah tersedia dupa untuk sembahyang) saya mampir ke Pantai Tanjung Pesona. Sempat diminta bayar tiket masuk Rp 15.000,- dengan pasang muka melas dan cape saya bertanya pura – pura polos “bayar yak pak?” yes! triknya berhasil, saya dan bang Hendry boleh masuk pantai Tanjung Pesona dengan gratis, tidak lama disini setelah sholat Ashar kami melanjutkan perjalanan karena tidak ingin kemalaman dijalan.

Pantai Tanjung Pesona

Pantai Tanjung Pesona
 
Sunset ditengah - tengah pekuburan Cina menjelang Sungai Liat
Sore kami sudah tiba di Sungai Liat, kami mampir makan di warung nasi padang, kami sholat magrib di masjid samping warung padang. Sehabis shalat magrib kami berniat menginap di masjid karena untuk melanjutkan kerumah bang Ryan masih 10 km lagi. Saya mengabarkan bang Ryan lewat sms kalau kita gak jadi kerumah bang Ryan, dan berniat menginap di masjid, dibalas bang Ryan “dirumah abang aja bro, sudah disapin kamar sama makan malam” jadi gak enak kalau gak nginep di bang Ryan karena dia sudah nyiapin buat saya dan bang Hendry, akhirnya kami bermalam dirumah bang ryan, malam itu kita ngobrol sampai larut malam.











Minggu, 17 Agustus 2014

AKURNYA WARUNG SOTO MAK JANAH DAN WARKOP AKE DI TANJUNG PANDAN #SunsetBabel



Menerima telepon dari Bang Rhofik kenalan saat di Vihara Dewi Kwan Im, agar mengabari kalau sudah tiba di Tanjung Pandan, karena ada kawannya dari Babel pos yang akan interview. Tadinya cuaca terik seketika berubah mendung dan tidak lama hujan deraspun turun, berhenti sejenak untuk memasukkan solar panel kedalam pannier dan perjalanan saya lanjutkan dengan berhujan – hujanan.

Makan siang dengan menu pempek dan gorengan cukuplah mengganjal lapar, bukan gak mau makan nasi tapi dari selepas Tanjung Binga belum menemukan warung nasi, mampir di pantai Tanjung Pendam sekedar rebahan melepas ngantuk di kusi panjang dibawah pendopo yang disediakan untuk wisatawan.

Setiba di jalan Sriwijaya, Tanjung Pandan saya mampir ke warung mie Belitung Atep, saya udah niat kalau di Tanjung Pandan untuk nyobain Mie khas Belitung, sama halnya saat sampai ke manggar wajib nyobain kopi “O” di warung kopi Atet. Nyonya Atep yang sudah sepuh selama 41 tahun turun tangan sendiri untuk meracik bumbu, Cara penyajiannya, mie kuning ditata dengan taburan taoge, irisan timun, potongan kentang rebus, emping melinjo dan terakhir disiram kuah udang kental yang berwarna kecoklatan. Satu udang ukuran utuh juga disajikan diatas siraman kuahnya. Aroma kuah kaldunya yang berbau udang sangat menggugah selera apalagi dimakan saat panas. Disayangkan anak – anaknya tidak ada yang mau melanjutkan atau membuka cabang di tempat lain.

Janjian dengan temannya Bang Rhofik, Harmoko wartawan Babel pos didepan boulevard tugu Batu Satam, setelah bertemu Harmoko, saya diajak menuju warung kopi Ake yang berada dibelakang kompleks kafe senang. Sebelumnya warung kopi ake berada di komplek kafe senang, namun saat pemugaran komplek kafe senang, warung kopi ake pindah kebelakang komplek kafe senang.

Akiong (59 tahun) yang sekarang mengelola warung kopi Ake adalah generasi ke tiga, Abok kakek om Akiong lah yang pertama kali mendirikan warung kopi Ake tahun 1922, nama Ake diambil dari nama anaknya (bapaknya Akiong). Saat masih di kompleks kafe senang, disebelah warung kopi Ake adalah warung soto khas Belitung Mak Janah, warung soto Mak Janah juga sudah lama berdiri sejak tahun 1925. Warung kopi Ake dan warung soto Mak Janah adalah simbol kerukunan antar umat beragama di Tanjung Pandan. Sayangnya semenjak Komplek Kafe Senang dipugar, warung kopi Ake dan warung soto Mak Janah sekarang sudah tidak berada disatu tempat, warung kopi Ake pindah kebelakang komplek Kafe Senang dan warung soto Mak Janah pindah ke belakang Gedung Nasional Kota Tanjung Pandan.

Selain Harmoko, juga ada kawan – kawan dari Gapabel di warung kopi Ake, obrolan di warung kopi hari itu hangat suasana keakraban, walau saya baru kenal dengan mereka, tapi saya tidak merasa menjadi asing. Makan malam saya diajak Yayan dan Benk ke restoran “Kopi Hati”, dan Bante Budi pemilik restoran kopi hati menjadikan rumahnya sebagai restoran, Bante budi bersama istrinya yang mengolah masakannya sendiri. Saya, Yayan dan Benk makan di ruang tamu karena teras sudah penuh diisi, special masakan di restoran ini adalah pampi gorengnya (mirip kwetiau goreng) dan es krim durian.

Saya dan Yayan memesan menu paket “Pampi goreng, es krim durian dan lemon juice” sedangkan benk memesan kopi, karena dia diet malam gak makan berat. Pampinya memang juara! Di lidah saya pas. Masakan di “Kopi Hati” semua olahannya tanpa daging karena Bante Budi si pemiliknya seorang vegetarian. Malam ini saya menginap di studio Benks berlokasi dirumah Cheppy, ditemani Benk.


Kopi Hati

Menu special Kafe Hati, Pampi Goreng

Mie Belitung

Nyonya Atep sendiri yang melayani racikan Mie Belitung


kumpul bersama teman - teman media dan Gapabel di warung kopi Ake

Kafe Senang, tepat berada di depan boulevard tugu batu satam

Kamis, 14 Agustus 2014

DIJAMIN TANPA FORMALIN IKAN ASIN TANJUNG BINGA #SunsetBabel



Ikan sisa bakaran semalam oleh Megi dibakar lagi untuk sarapan, saya memasak mie instant dan membuat kopi “O”. Selasa pagi (10/06/14) setelah sarapan, Tenda, perlengkapan kemah, perlengkapan masak sudah dipacking dan dimasukkan ke dalam pannier, setelah berpamitan dengan Megi saya melanjutkan perjalanan menuju Tanjung Pandan

Tiba di Tanjung Binga, lokasinya tidak jauh dari Tanjung Kelayang tempat semalam saya berkemah,  Tanjung Binga adalah perkampungan nelayan yang mayoritas asal Bugis tepatnya Kecamatan Salomekko, Bone bagian Selatan, keseharian mereka kebanyakan adalah nelayan penangkap ikan – ikan sejenis teri yang selanjutnya di olah menjadi ikan asin.

Hampir disepanjang pesisir pantai berjejer bentang – bentang panggung dengan kaki – kaki kayu yang ditancapkan ke dasar pantai, bentang panggung digunakan untuk menjemur ikan – ikan yang sedang dikeringkan, disetiap bentang terdapat gubuk beratapkan seng yang dijadikan tempat untuk menaruh ikan yang sudah dikeringkan. Tidak seperti di wilayah pesisir lainnya di Pulau Belitung, di Tanjung Binga kapalnya berbeda, lebih besar dengan cadik yang lebih lebar, kalo diliat dari fungsinya cadik kapal ini selain untuk penyeimbang juga digunakan untuk landasan saat melepas jaring – jaring ke laut.

Tidak seperti yang pernah saya liat pengolahan ikan asin di Muara Angke, di Tanjung Binga tempat pengolahannya bersih, tidak berbau amis dan bersih dari lalat – lalat, nelayan disini menjamin ikan hasil olahannya bebas dari bahan pengawet formalin dibuktikan dengan tidak ada lalat yang menempel.

Nelayan – nelayan di Tanjung Binga juga biasa menyewakan perahu – perahu mereka untuk digunakan keliling pulau - pulau kecil yang terdapat didepan Tanjung Binga seperti pulau Burung, Pulau Kepayang, Pulau Lutong, Pulau Kera dan pulau Lengkuas yang sudah menjadi ikon wisata bahari Pulau Belitung dengan Mercu Suar peninggalan Belanda yang masih aktif.

Sedikit menaiki bukit, sampai saya di Resort Bukit Berahu, bukit dengan rindang mayoritas pohon duren, sayang lagi gak musim, dari puncak bukit kita bisa melihat laut lepas yang menghadap ke barat selat Gaspar berhadapan dengan pulau Bangka, menuruni bukit sampai ke pantai terdapat beberapa bangunan cottages, ditengah laut yang biru beberapa perahu nelayan Bugis lego jangkar tidak melaut.


Dermaga Tanjung Binga
Dermaga Tanjung Binga

Proses penjemuran ikan asin

Proses penjemuran ikan asin

Proses penjemuran ikan asin

Proses penjemuran ikan asin

Bermain, menemani orang tua bekerja

Proses penjemuran ikan asin

Proses memasak ikan asin

Proses memasak ikan asin

Packing ikan asin yang telah selesai diolah

Pemandangan dari atas resort Bukit Berahu

Perjalanan saya lanjutkan menuju Tanjung Pandan, jarak yang tidak sampai 40 km saya tempuh perjalanan dengan santai. Siang cuaca cukup terik, memasuki Dzuhur saya mampir di surau untuk shalat sekalian mandi karena saat berangkat pagi di Tanjung Kelayang saya tidak mandi. Saat akan melnjutkan perjalanan panas matahari masih terik, untuk mengurangi panas di tubuh baju saya basahkan.