Kamis, 14 Agustus 2014

SENJA DITEMANI MONYET LIAR #SunsetBabel



Pagi – pagi sekali saya sudah bangun, pagi ini (08/06/14) saya mau sarapan dan ngopi di warung kopi Atet, Saya memesan segelas kopi susu dan 2 buah gorengan.

Warung kopi Atet salah satu warung kopi tertua di Manggar, namun kesan “doeloe” nya sudah tidak terlihat, bangunannya sudah direnovasi menjadi permanen.  warung kopi Atet hanya buka dari pagi sampai sore hari, di Manggar banyak sekali warung kopi dan ada yang buka hingga dini hari. Kebiasaan ngopi di warung kopi dibawa oleh masyarakat Tionghoa yang merantau ke Belitung untuk bekerja sebagai penambang timah, kebiasaan ini diikuti pula masyarakat pribumi, kita akan melihat di warung kopi masyarakat keturunan dan pribumi berbaur dan bersosialisasi, yang istimewanya adalah kopinya bukan berasal dari Belitung melainkan dari Sumatera berjenis kopi Robusta, karena tanah di Belitung yang tidak bisa untuk ditanam kopi.

Warung Kopi Atet

Salah satu sudut kota Manggar, berderet warung kopi

Tugu 1001 warung kopi Manggar

Rumah asli Belitung
 
Beristirahat di Vihara Sun Go Kong sambil menunggu hujan reda

Tempat sembahyang Vihara Sun Go Kong

Tempat sembahyang Vihara Sun Go Kong

Sehabis sarapan saya lanjutkan perjalanan menuju Pantai Burung Mandi dan Pantai Bukit Batu, berdasarkan google maps jarak Kota Manggar ke Pantai Burung Mandi 21 km, hujan turun cukup deras saya mampir di Vihara Sun Go Kong untuk berteduh ditemani 2 anjing penjaga Vihara, setelah hujan berhenti saya lanjutkan perjalanan, tiba dipertigaan ada petunjuk lurus ke Pantai Burung Mandi dan belok kanan ke Pantai Bukit Batu, sepeda saya belokan ke kanan saya berencana ke Pantai Bukit Batu yang katanya ini tanah pribadi Ahok mantan Bupati Belitung Timur yang sekarang menjadi Plt. Gubernur DKI Jakarta.

Sejalan menuju Pantai Bukit Batu, saya melihat plang jalan Kaolin disisi kanan jalan, apakah ini jalan menuju ke danau Kaolin yang teman saya ceritakan? Saya berusaha mencari informasi kebenarannya tapi tidak seorangpun saya temuin, saya pede aja melanjutkan jalan, karakter jalan tanah merah berbatu halus, saya sudah tempuh 2 km tapi saya belum menemukan tanda - tanda lokasi danau kaolin, saya tidak yakin ini jalan menuju danau Kaolin ditambah saya minim informasi lokasi saya memilih kembali ke jalan aspal menuju Pantai Bukit Batu.

Jalan yang menanjak dan berkelak kelok, sekarang jalan mulai menurun dan sepi dari rumah penduduk, terdengar sayup – sayup suara ombak, sepertinya sudah dekat dengan pantai, laut sudah terlihat, disisi kiri jalan ada jalan aspal menanjak menaiki bukit disitu terlihat plang Pantai Bukit Batu, tapi saya masih penasaran dengan ujung aspal jalan ini, saya lanjutkan perjalanan, disisi kiri terdapat bekas kolam renang wisata keluarga yang sudah tidak terawat, diloket pembayarannya terdapat tulisan “dijual” mungkin karena lokasinya yang jauh jadi kurang laku.

Jalan Berakhir ditebing tinggi mengarah kelaut, sepeda saya standarkan dan melanjutkan berjalan melalui beberapa anak tangga yang berakhir di sebuah dermaga kayu yang menjorok kelaut, beberapa kapal nelayan sedang ditambatkan, ceruk kapal yang terlihat bisa dipastikan laut sedang surut, dan nelayan baru bisa keluar dari dermaga pada saat laut pasang.

Saya izin masuk ke Pantai Bukit Batu, konon katanya ini adalah pantai pribadi milik Ahok, Wakil Gubernur DKI Jakarta, dipos penjagaan ada seorang ibu yang menjaga, dia bertanya berapa orang? Saya jawab sendiri, si ibu memegang tiket tapi saya tidak diminta bayar, mungkin kasian liat saya hehe.. portal pintu gerbang dibuka dan si ibu menjelaskan tanjakannya cukup curam menuju pantai.

Jalan Danau Kaolin, tanah merah bercampur pasir

Pelabuhan rakyat di pantai Bukit Batu

Mercu suar di Pelabuhan rakyat pantai Bukit Batu

Jalan menuju pantai Bukit Batu

Pantai Bukit Batu

Pantai Bukit Batu

Habis tenaga ini melewati tanjakan curam membelah hutan yang sebenarnya tidak separah dan sejauh tanjakan Habibie di Sukabumi, tapi buat saya yang berbadan montok itu usaha terberat. Setiba di Pantai hujan turun dengan derasnya, di saung saya beristirahat menunggu hujan reda. Hujan berhenti saya berjalan keliling pantai berpasir dengan batu – batu besar kekuning – kuningan, disalah satu ujung pantai terdapat gazebo besar dan kita dapat melihat pemandangan laut bebas dari sana.

Melanjutkan perjalanan ke Pantai Burung Mandi, saya mampir ke Vihara Buddhayana atau lebih dikenal Vihara Dewi Kwan Im, Vihara yang sudah ada sejak dua setengah abad yang lalu ini memang indah, viharanya berada diatas bukit dan diapit oleh batu besar, dari tempat sembahyang kita bisa melihat pemandangan laut dan Pantai Burung Mandi, berkenalan dengan bang Rhofik orang Tanjung Pandan yang hari itu sedang membawa tamu wisatawan dari Jakarta, setelah bertukar nomer telepon dan rencananya akan ketemuan di Tanjung Pandan dengan kawannya yang wartawan, kami berpamitan.

Di pintu masuk pantai wisata Burung Mandi lagi – lagi saya tidak diminta membayar tiket masuk, mereka sepertinya mengerti saya yang jalan – jalan menggunakan sepeda ini hanya membawa bekal pas – pasan, pantai berpasir putih halus berbaris perahu kater berwarna – warni, dipenuhi pohon Cemara Laut dipinggiran pantai Burung Mandi. Makan siang di Pantai Burung Mandi menunya pempek khas Belitung, bedanya dengan pempek Palembang yang menggunakan ikan air tawar, pempek Belitung menggunakan ikan laut, biasanya ikan Tenggiri.

Vihara Dewi kwan im

Vihara Dewi kwan im

Pantai Burung Mandi

Pantai Burung Mandi

Pantai Burung Mandi

Pantai Burung Mandi

Tiba di pertigaan Buding, lurus ke Tanjung Pandan saya belok kekanan menuju Sijuk, disini hari sudah sore setelah menempuh 39 km dari Pantai Burung Mandi, sepertinya rencana bermalam hari ini di Sijuk tidak akan terkejar. Hari mulai gelap saya belum juga bertemu kampung, sepanjang jalan perkebunan sawit diselingi hutan, sesekali sekelompok monyet liar keluar dari hutan, bersyukur saya akhirnya bertemu desa, dan malam ini saya bermalam di masjid dusun Aik Kalak, Desa Pelepak Pute.

Tidak ada komentar :

Posting Komentar