Pagi
– pagi sekali saya sudah bangun, pagi ini (08/06/14) saya mau sarapan dan ngopi
di warung kopi Atet, Saya memesan segelas kopi susu dan 2 buah gorengan.
Warung kopi Atet salah satu warung kopi tertua
di Manggar, namun kesan “doeloe” nya sudah tidak terlihat, bangunannya sudah direnovasi menjadi permanen. warung kopi Atet hanya buka dari pagi sampai sore
hari, di Manggar banyak sekali warung kopi dan ada yang buka hingga dini hari. Kebiasaan ngopi di warung kopi dibawa oleh masyarakat Tionghoa yang merantau ke Belitung untuk bekerja sebagai penambang timah, kebiasaan ini diikuti pula masyarakat pribumi, kita akan melihat di warung kopi masyarakat keturunan dan pribumi berbaur dan bersosialisasi, yang istimewanya adalah kopinya bukan berasal dari Belitung melainkan dari Sumatera berjenis kopi Robusta, karena tanah di Belitung yang tidak bisa untuk ditanam kopi.
|
Warung Kopi Atet |
|
Salah satu sudut kota Manggar, berderet warung kopi |
|
Tugu 1001 warung kopi Manggar |
|
Rumah asli Belitung |
|
Beristirahat di Vihara Sun Go Kong sambil menunggu hujan reda |
|
Tempat sembahyang Vihara Sun Go Kong |
|
Tempat sembahyang Vihara Sun Go Kong |
Sehabis
sarapan saya lanjutkan perjalanan menuju Pantai Burung Mandi dan Pantai Bukit
Batu, berdasarkan google maps jarak Kota Manggar ke Pantai Burung Mandi 21 km,
hujan turun cukup deras saya mampir di Vihara Sun Go Kong untuk berteduh
ditemani 2 anjing penjaga Vihara, setelah hujan berhenti saya lanjutkan
perjalanan, tiba dipertigaan ada petunjuk lurus ke Pantai Burung Mandi dan
belok kanan ke Pantai Bukit Batu, sepeda saya belokan ke kanan saya berencana
ke Pantai Bukit Batu yang katanya ini tanah pribadi Ahok mantan Bupati Belitung
Timur yang sekarang menjadi Plt. Gubernur DKI Jakarta.
Sejalan
menuju Pantai Bukit Batu, saya melihat plang jalan Kaolin disisi kanan jalan,
apakah ini jalan menuju ke danau Kaolin yang teman saya ceritakan? Saya
berusaha mencari informasi kebenarannya tapi tidak seorangpun saya temuin, saya
pede aja melanjutkan jalan, karakter jalan tanah merah berbatu halus, saya
sudah tempuh 2 km tapi saya belum menemukan tanda - tanda lokasi danau kaolin,
saya tidak yakin ini jalan menuju danau Kaolin ditambah saya minim informasi
lokasi saya memilih kembali ke jalan aspal menuju Pantai Bukit Batu.
Jalan
yang menanjak dan berkelak kelok, sekarang jalan mulai menurun dan sepi dari
rumah penduduk, terdengar sayup – sayup suara ombak, sepertinya sudah dekat
dengan pantai, laut sudah terlihat, disisi kiri jalan ada jalan aspal menanjak
menaiki bukit disitu terlihat plang Pantai Bukit Batu, tapi saya masih
penasaran dengan ujung aspal jalan ini, saya lanjutkan perjalanan, disisi kiri
terdapat bekas kolam renang wisata keluarga yang sudah tidak
terawat, diloket pembayarannya terdapat tulisan “dijual” mungkin karena lokasinya
yang jauh jadi kurang laku.
Jalan
Berakhir ditebing tinggi mengarah kelaut, sepeda saya standarkan dan
melanjutkan berjalan melalui beberapa anak tangga yang berakhir di sebuah
dermaga kayu yang menjorok kelaut, beberapa kapal nelayan sedang ditambatkan, ceruk
kapal yang terlihat bisa dipastikan laut sedang surut, dan nelayan baru bisa
keluar dari dermaga pada saat laut pasang.
Saya
izin masuk ke Pantai Bukit Batu, konon katanya ini adalah pantai pribadi milik Ahok, Wakil Gubernur DKI Jakarta, dipos penjagaan ada seorang ibu yang menjaga,
dia bertanya berapa orang? Saya jawab sendiri, si ibu memegang tiket tapi saya
tidak diminta bayar, mungkin kasian liat saya hehe.. portal pintu gerbang
dibuka dan si ibu menjelaskan tanjakannya cukup curam menuju pantai.
|
Jalan Danau Kaolin, tanah merah bercampur pasir |
|
Pelabuhan rakyat di pantai Bukit Batu |
|
Mercu suar di Pelabuhan rakyat pantai Bukit Batu |
|
Jalan menuju pantai Bukit Batu |
|
Pantai Bukit Batu |
|
Pantai Bukit Batu |
Habis
tenaga ini melewati tanjakan curam membelah hutan yang sebenarnya tidak separah
dan sejauh tanjakan Habibie di Sukabumi, tapi buat saya yang berbadan montok
itu usaha terberat. Setiba di Pantai hujan turun dengan derasnya, di saung saya
beristirahat menunggu hujan reda. Hujan berhenti saya berjalan keliling
pantai berpasir dengan batu – batu besar kekuning – kuningan, disalah satu
ujung pantai terdapat gazebo besar dan kita dapat melihat pemandangan laut
bebas dari sana.
Melanjutkan
perjalanan ke Pantai Burung Mandi, saya mampir ke Vihara Buddhayana atau lebih
dikenal Vihara Dewi Kwan Im, Vihara yang sudah ada sejak dua setengah abad yang
lalu ini memang indah, viharanya berada diatas bukit dan diapit oleh batu
besar, dari tempat sembahyang kita bisa melihat pemandangan laut dan Pantai
Burung Mandi, berkenalan dengan bang Rhofik orang Tanjung Pandan yang hari itu
sedang membawa tamu wisatawan dari Jakarta, setelah bertukar nomer telepon dan
rencananya akan ketemuan di Tanjung Pandan dengan kawannya yang wartawan, kami
berpamitan.
Di
pintu masuk pantai wisata Burung Mandi lagi – lagi saya tidak diminta membayar
tiket masuk, mereka sepertinya mengerti saya yang jalan – jalan menggunakan
sepeda ini hanya membawa bekal pas – pasan, pantai berpasir putih halus
berbaris perahu kater berwarna – warni, dipenuhi pohon Cemara Laut dipinggiran
pantai Burung Mandi. Makan siang di Pantai Burung Mandi menunya pempek khas
Belitung, bedanya dengan pempek Palembang yang menggunakan ikan air tawar,
pempek Belitung menggunakan ikan laut, biasanya ikan Tenggiri.
|
Vihara Dewi kwan im |
|
Vihara Dewi kwan im |
|
Pantai Burung Mandi |
|
Pantai Burung Mandi |
|
Pantai Burung Mandi |
|
Pantai Burung Mandi |
Tiba
di pertigaan Buding, lurus ke Tanjung Pandan saya belok kekanan menuju Sijuk,
disini hari sudah sore setelah menempuh 39 km dari Pantai Burung Mandi,
sepertinya rencana bermalam hari ini di Sijuk tidak akan terkejar. Hari mulai
gelap saya belum juga bertemu kampung, sepanjang jalan perkebunan sawit diselingi
hutan, sesekali sekelompok monyet liar keluar dari hutan, bersyukur saya
akhirnya bertemu desa, dan malam ini saya bermalam di masjid dusun Aik Kalak, Desa
Pelepak Pute.
Tidak ada komentar :
Posting Komentar