Terlihat dari cctv komputer agen tiket, kapal KM. Sawita sudah bersandar di pelabuhan, setelah membayar tiket penumpang kapal KM. Sawita tujuan Pangkal Balam seharga Rp. 330.000 sepeda tidak dhitung, saya kayuh sepeda menuju pelabuhan, saya diberitahu Aris agen tiket untuk menuju ke dermaga kapal KM. Sawita bersandar tidak perlu lewat pelabuhan penumpang, langsung dari jalur truk – truk ekspedisi yang akan naik ferry.
Saya
membayangkan masuk pelabuhan akan hiruk pikuk tidak beraturan penumpang,
bertemu preman – preman, calo – calo penumpang, pedagang asongan, buruh – buruh
angkut yang akan memaksakan bawaan kita di angkut mereka. Penilaian saya salah,
pelabuhan penumpang sepi dari aktifitas tersebut, buruh angkut ada tapi mereka
bekerja di bawah perintah mandor, kalaupun ada pedagang asongan mereka
berjualan dengan tertutup, menyamar seperti penumpang, membawa tas dan kantong
plastik, menjajakan dagangannya dengan membaur diantara penumpang dan para
supir, menawarkannya pun tidak berteriak – teriak, hanya bicara pelan.
Ada yang menarik dari aktifitas bongkar muat barang
curah sore itu, diantara buruh – buruh angkut berpeluh keringat yang sedang
menaikkan barang curah berisi cabe merah dari mobil bak ke dek atas kapal KM.
Sawita menggunakan tambang dan katrol, ada sesosok berbeda dengan buruh - buruh
lainnya. Bersarung tangan, bercelana pendek, menggunakan kaos lengan panjang
garis horizontal berwarna garis merah, coklat, putih yang kumal. dia adalah ibu
Wati Saya tahu setelah kawannya ada yang memanggil namanya. Bersama 2 orang
buruh lainnya ibu Wati menarik barang curah berisi cabe merah ke atas kapal KM.
Sawita menggunakan tambang yang diikatkan ke katrol diatas kapal untuk membantu
naik. Tidak diistimewakan teman – teman buruh lainnya, bu Wati diperlakukan sama,
apa yang dikerjakan buruh yang laki, bu Wati juga mengerjakannya, tidak tampak raut muka Bu Wati minta
dikasihani, saat saya tanya, ibu Wati hanya menjawab tersenyum. Diantara
teman – teman buruh laki lainnya. Bu Wati adalah sama. Sama – sama
buruh yang mencari nafkah untuk keluarga, bedanya Bu Wati adalah Srikandi di mata keluarganya.
Bu Wati dan buruh - buruh lainnya sedang menaikkan barang ke atas kapal mnggunakan tambang dan katrol |
Bu Wati |
Rencananya
pukul 20.00 kapal berangkat, sampai Pukul 21.00 kapal juga belum loading, truk
– truk ekspedisi dari Pulau Bangka masih berada di perut kapal KM. Sawita,
kapal akan terlambat berangkat karena masih ada kapal tongkang yang sedang
menurunkan alat – alat berat, selesai kapal tongkang loading barulah KM. Sawita
bisa loading dengan membuka pintu rampa yang berada diburitan untuk menurunkan
muatan truk – truk.
Aktifitas pelabuhan Tanjung Prok dilihat dari pintu kapal KM. Sawita |
Para supir ngobrol menunggu kapal berangkat |
Aktifitas pelabuhan Tanjung Priok |
Sepeda parkir di dalam kapal KM. Sawita |
KM. Star Belitung yang sedang loading di samping kapal KM. Sawita |
Truk diparkirkan di dalam kapal, dibantu para abk |
Pukul
23.00 akhirnya KM. Sawita bisa loading, setelah menurunkan semua truk – truk
yang ada di dalam kapal, bergantian truk – truk ekspedisi yang akan ke Bangka
masuk satu persatu, ada seseorang yang bertanggung jawab mengatur masuknya truk
kedalam kapal, dia harus memperkirakan ukuran dan bobot truk selanjutnya diatur
ditempatkan secara seimbang agar kapal tidak miring, terlebih kapal fery ini
akan berlayar jauh melewati laut bebas, tidak seperti kapal yang menyeberangi
selat hanya memakan waktu beberapa jam saja.
Truk
– truk sudah terparkir rapi di dalam kapal, disini kelihaian supir ekspedisi
benar – benar diuji, para supir masuk kedalam hanya menggunakan naluri saat truk
berjalan mundur dan hanya dipandu abk yang bertugas mengatur parkir truk,
karena semua spion di truk ditekuk saat masuk, spion ditekuk gunanya agar jarak
antar truk dapat parkir saling rapat, selain dapat menghemat area parkir juga
saat ombak besar truk tidak terbalik karena saling mengunci satu sama lain,
setelah parkir seluruh roda diikat ke lantai kapal menggunakan rantai agar
tidak bergerak.
Sebenarnya
KM. Sawita sudah selesai loading sejak pukul 24.00, baru berangkat berlayar
pukul 01.00 menunggu perintah berlayar oleh syahbandar yang bertugas mengatur
lalu lintas pelayaran pelabuhan.
Kapal
yang didominasi para supir – supir ekspedisi ini ternyata nyaman, ruangan yang
berpendingin udara, saya bisa dengan leluasa untuk istirahat tidur karena
ruangan penumpang lesehan yang tidak terlalu ramai, mushala yang bersih di
kelilingi kaca kita bisa melihat pemandangan luar dengan bebas, memang toilet
dan kamar mandi menjadi satu, tapi air tawarnya melimpah ruah untuk kita
gunakan mandi ataupun buang air cukup nyamanlah.
Area penumpang dilengkapi pendingin udara |
Tampak area penumpang dari tangga ke mushala |
Mushala berada diatas, dikelilingi kaca |
Untuk
membunuh waktu perjalanan selama 18 jam ini banyak saya isi ngobrol dengan
supir – supir ekspedisi, mereka rata – rata memang khusus membawa truk dengan
rute ke Pulau Bangka dan Pulau Belitung, jadi di kapal serasa dirumah bagi
mereka, hampir semua supir, abk sampai kapten saling kenal karena kapal yang
berlayar ke Pulau Bangka Belitung memang tidak banyak.
“Jangan
sesekali nyolong di kapal, kalau gak mau dibuang kelaut” ancaman buat maling
yang tertangkap, pengalaman para supir penyeberangan ke Bangka lebih aman
dibandingkan penyeberangan yang lain, ada supir yang bercerita dia pernah
kehilangan 2 karung bawang merah saat menyeberang ke Bakauheni, setelah lapor
keamanan kapal tidak mendapat respon dan kapal keburu bersandar.
Rabu
(04/06/14) pukul 21.00, terlihat dari kejauhan lampu – lampu kapal, KM. Sawita
akan memasuki perairan muara Pangkal Balam, lalu lintas di perairan ini tidak
diatur oleh syahbandar dan tidak ada kapal pandu, kapal bergerak lambat dan
berhati – hati. Di beberapa pinggiran sungai diberi patok – patok bambu yang
diberi lampu, ini penanda agar kapal menjauh dari patok tersebut karena daerah
tersebut dangkal.
Pukul
22.00 kapal bersandar di pelabuhan penumpang Pangkal Balam, kawan – kawan saya
yang dari pramuka Saka Bahari Lanal Bangka Belitung, dan juga opung Sinpo
Petrus Simanjuntak yang saya baru kenal saat bertemu di rumah kawan di Setu
Babakan ikut menjemput. Lega rasanya tiba di daratan, rasanya badan masih
limbung setelah berlayar selama 18 jam.
Malam
ini saya bermalam dirumah kak Firman salah satu anggota Saka Bahari yang juga
dijadikan sanggar saka Bahari di Bangka Belitung di Pangkal Balam, setelah selesai
berbincang – bincang dengan kawan – kawan Saka Bahari Babel, opung Sinpo dan om
Abing, saya beristirahat.
Baru sekarang bisa membacanya. Salam dari Bangka, Jay!
BalasHapus